Cirebon dan Galuh dalam Ketegangan
Serangan
Galuh ke Cirebon terjadi tahun 1528. Pasukan penyerang ini dihadang oleh
pasukan Adipati Kuningan, Suranggajaya, di dekat Bukit Gundul. Suranggajaya
adalah putera Ki Gedeng Luragung (Jayaraksa) yang diangkat anak oleh Arya
Kemuning (Bratawiyana) dan sekaligus menjadi menantu Ratu Selawati. Ia diserahi
tanggung jawab keamanan di daerah perbatasan dengan Galuh dan melindungi pondok
pesantren yang tersebar di daerah tersebut. Pasukan Galuh terlalu banyak
jumlahnya untuk dihadapi oleh pasukan Kuningan. Adipati Kuningan terdesak dan
segera memohon bala bantuan ke Pakungwati. Bantuan datang dan dipimpin langsung
oleh senapati tua Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang).Dalam
pertempuran ini tampak apa kelebihan pasukan Demak. Mereka membawa meriam, dan
orang Galuh tidak berdaya terhadap “panah yang berbunyi seperti Guntur,
mengeluarkan asap hitam sambil memuntahkan logam panas” ini. Pasukan Galuh
terdesak lalu mereka mengundurkan diri ke Talaga benteng terakhir. Kerajaan tua
Galuh yang didirikan oleh Wretikandayun dalam tahun 612 itu runtuh dalam
pertempuran di Bukit Gundul-Palimanan tahun 1528 Masehi.Tentang
hal ini patut diberi catatan bahwa dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (1720 M) dan naskha-naskah yang lebih
muda disebutkan Rajagaluh sehingga
menimbulkan salah duga karena kebetulan di daerah Majalengka ada tempat yang
bernama Rajagaluh yang usianya cukup
tua. Dalam Pustaka Nusantara III/1 jelas tertulis bahwa yang kalah dalam
pertempuran di Palimanan tahun 1450 Saka itu rajya ghaluh. Kata rajya berarti kerajaan.Penguasa
Talaga waktu itu disebut dengan banyak nama: Suralaya, Rangga Mantri,
Brajamusti, Batara Tina Buana, Sunan Parung Gangsa atau Pucuk Umun Talaga. Ia
adalah putera Munding Surya Ageung (salah seorang putera Sri Baduga) dan
menjadi raja daerah di Maja. Karena perkawinannya dengan Wulansari (Ratu
Parung) cucu Ratu Simbarkancana, Sunan Parung Gangsa menjadi raja Talaga. Dalam
hal ini ia mewarisi tahta dari mertuanya yaitu: Batara Sakawayana alias Sunan
Parung atau Sunan Corenda.Susuhunan
Jati tidak langsung menyerang Talaga karena hal ini memerlukan persiapan yang
lebih matang. Di Talaga berkumpul hampir semua sisa-sisa kekuatan Kerajaan
Galuh yang terakhir. Selain Jayaningrat raja Galuh yang terakhir di sana
berkumpul pula pasukan dari Kerajaan Pasir Gula Sagandu. Rajanya, Jayasamara
menikah dengan adik raja Talaga yang bernama Nyi Tanduran Gagang. Juga Arya
Kiban bupati Galuh di Palimanan ikut memperkuat pertahanan Talaga.Persiapan
Cirebon tertunda lagi karena Pangeran Walangsungsang pelindung Cirebon dan
pendiri istana Pakungwati wafat tahun 1529. Kehilangan tokoh tua yang amat
disegani di kawasan timur ini tentu sangat mempengaruhi suasana keraton
Cirebon. Dia yang direstui ayahnya, Sri Baduga, menjadi penguasa di Cirebon
tetapi kemudian secara ikhlas ia menyerahkan pelindungnya. Mungkin salah satu
faktor yang mendorong tindakannya menyerahkan tahta Cirebon itu, adalah kasih
sayangnya yang amat dalam kepada adiknya, Rara Santang yang menjadi ibunda
Syarif Hidayat. Pergi naik haji pun adik perempuannya inilah yang dibawanya.
Faktor lain tentu saja sebagai penganut Islam generasi pertama di Jawa Barat ia
menginginkan Cirebon diperintah oleh keturunan Rasul Muhammad.Pada pihak lain Pangeran Walangsungsang mampu
berdiri sama tengah di antara penganut berbagai mazhab yang saling bersaing.
Ketika Susuhunan Jati akan “menumpas” penganut Syia’ah setelah Syekh Lemah Bang
dijatuhi hukuman mati di halaman tajug Ciptarasa Cirebon, Walangsungsang-lah
yang mampu mencegah hasrat tersebut. Peristiwa penangkapan guru besar mazhab
Syi’ah di Cirebon Girang itu terjadi atas permintaan Sultan Demak, Raden Patah,
sebagai akibat pemberontakan Pengging.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar