Selasa, 05 Februari 2013

Cirebon dan Galuh dalam Ketegangan


Serangan Galuh ke Cirebon terjadi tahun 1528. Pasukan penyerang ini dihadang oleh pasukan Adipati Kuningan, Suranggajaya, di dekat Bukit Gundul. Suranggajaya adalah putera Ki Gedeng Luragung (Jayaraksa) yang diangkat anak oleh Arya Kemuning (Bratawiyana) dan sekaligus menjadi menantu Ratu Selawati. Ia diserahi tanggung jawab keamanan di daerah perbatasan dengan Galuh dan melindungi pondok pesantren yang tersebar di daerah tersebut. Pasukan Galuh terlalu banyak jumlahnya untuk dihadapi oleh pasukan Kuningan. Adipati Kuningan terdesak dan segera memohon bala bantuan ke Pakungwati. Bantuan datang dan dipimpin langsung oleh senapati tua Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang).Dalam pertempuran ini tampak apa kelebihan pasukan Demak. Mereka membawa meriam, dan orang Galuh tidak berdaya terhadap “panah yang berbunyi seperti Guntur, mengeluarkan asap hitam sambil memuntahkan logam panas” ini. Pasukan Galuh terdesak lalu mereka mengundurkan diri ke Talaga benteng terakhir. Kerajaan tua Galuh yang didirikan oleh Wretikandayun dalam tahun 612 itu runtuh dalam pertempuran di Bukit Gundul-Palimanan tahun 1528 Masehi.Tentang hal ini patut diberi catatan bahwa dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (1720 M) dan naskha-naskah yang lebih muda disebutkan Rajagaluh sehingga menimbulkan salah duga karena kebetulan di daerah Majalengka ada tempat yang bernama Rajagaluh yang usianya cukup tua. Dalam Pustaka Nusantara III/1 jelas tertulis bahwa yang kalah dalam pertempuran di Palimanan tahun 1450 Saka itu rajya ghaluh. Kata rajya berarti kerajaan.Penguasa Talaga waktu itu disebut dengan banyak nama: Suralaya, Rangga Mantri, Brajamusti, Batara Tina Buana, Sunan Parung Gangsa atau Pucuk Umun Talaga. Ia adalah putera Munding Surya Ageung (salah seorang putera Sri Baduga) dan menjadi raja daerah di Maja. Karena perkawinannya dengan Wulansari (Ratu Parung) cucu Ratu Simbarkancana, Sunan Parung Gangsa menjadi raja Talaga. Dalam hal ini ia mewarisi tahta dari mertuanya yaitu: Batara Sakawayana alias Sunan Parung atau Sunan Corenda.Susuhunan Jati tidak langsung menyerang Talaga karena hal ini memerlukan persiapan yang lebih matang. Di Talaga berkumpul hampir semua sisa-sisa kekuatan Kerajaan Galuh yang terakhir. Selain Jayaningrat raja Galuh yang terakhir di sana berkumpul pula pasukan dari Kerajaan Pasir Gula Sagandu. Rajanya, Jayasamara menikah dengan adik raja Talaga yang bernama Nyi Tanduran Gagang. Juga Arya Kiban bupati Galuh di Palimanan ikut memperkuat pertahanan Talaga.Persiapan Cirebon tertunda lagi karena Pangeran Walangsungsang pelindung Cirebon dan pendiri istana Pakungwati wafat tahun 1529. Kehilangan tokoh tua yang amat disegani di kawasan timur ini tentu sangat mempengaruhi suasana keraton Cirebon. Dia yang direstui ayahnya, Sri Baduga, menjadi penguasa di Cirebon tetapi kemudian secara ikhlas ia menyerahkan pelindungnya. Mungkin salah satu faktor yang mendorong tindakannya menyerahkan tahta Cirebon itu, adalah kasih sayangnya yang amat dalam kepada adiknya, Rara Santang yang menjadi ibunda Syarif Hidayat. Pergi naik haji pun adik perempuannya inilah yang dibawanya. Faktor lain tentu saja sebagai penganut Islam generasi pertama di Jawa Barat ia menginginkan Cirebon diperintah oleh keturunan Rasul Muhammad.Pada pihak lain Pangeran Walangsungsang mampu berdiri sama tengah di antara penganut berbagai mazhab yang saling bersaing. Ketika Susuhunan Jati akan “menumpas” penganut Syia’ah setelah Syekh Lemah Bang dijatuhi hukuman mati di halaman tajug Ciptarasa Cirebon, Walangsungsang-lah yang mampu mencegah hasrat tersebut. Peristiwa penangkapan guru besar mazhab Syi’ah di Cirebon Girang itu terjadi atas permintaan Sultan Demak, Raden Patah, sebagai akibat pemberontakan Pengging. 

Sunan Gunungjati dan Perjalanannya


Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabuana yang dibesarkan di negara ayahnya, Mesir, ketika berusia dua puluh tahun, pergi berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri di Mekah selama  dua tahun dan belajar kepada Syekh Ata’ullahi Sadzili yang bermazhab Syafii. Kemudian  Syarif Hidayat belajar ilmu tasawuf di Bagdad selama dua tahun. Setelah itu, ia kembali ke negara ayahnya dan diminta untuk menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk pergi ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama pamannya (kakak dari ibu).  Posisi Raja Mesir digantikan oleh adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayat singgah di Gujarat selama tiga bulan. Kemudian melanjutkan perjalanannya ke Paseh dan sempat tinggal untuk berguru agama Islam kepada Sayid Ishak selama dua tahun. Syarif Hidayat kemudian meneruskan perjalanannya dan sempat singgah di Banten. Di Banten sudah banyak yang memeluk agama Islam, yang telah disebarkan oleh Sunan Ampel. Oleh sebab itu, ia terlebih dahulu pergi ke Ampel untuk bersilaturahim dengan para wali di sana. Syarif Hidayat akhirnya sampai di Ampel. Di sana sedang diadakan pertemuan para wali. Syarif Hidayat kemudian diberi tugas untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon, yang saat itu di sana terdapat uwaknya Haji Abdullah Iman.
Dalam perjalanan, Syarif Hidayat berhasil mengislamkan Dipati Keling dan pengikutnya sebanyak sembilan puluh delapan orang. Akhirnya Syarif Hidayatullah bersama rombongan  tiba di Amparan Jati pada tahun 1470 M. Ia bertemu dengan uwaknya Pangeran Walangsungsang Cakrabuana. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana sangat senang. Syarif Hidayatullah memperoleh nasihat-nasihat dari Syekh Nurjati/Syekh Datul Kahfi. Setelah Syekh Datul Kahfi meninggal dunia, Syarif Hidayatullah menggantikan posisi Syekh Datul Kahfi sebagai ulama yang mengajarkan agama Islam dengan gelar Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati[1]. Syarif Hidayat menyebarkan Islam, berdakwah di Gunung Sembung dan atas bantuan uwaknya, mendirikan pondok pesantren di Gunung Sembung. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana kemudian meminta Syarif Hidayatullah untuk tinggal menetap dan menggantikan kepemimpinannya, menjadi raja dan pemimpin Agama Islam di Pulau Jawa. Tetapi Syarif Hidayatullah belum bersedia karena masih ingin berkelana. Pangeran Walangsungsang tidak berkeberatan.
Syarif Hidayatullah pun pergi mengembara ke arah barat dan bertemu dengan Ki Gedeng Babadan. Kemudian menikah untuk pertama kali dengan Nyi Mas Babadan atau Nyi Mas Retna Wati, putri Ki Gedeng Babadan pada tahun 1471 M. Sebelum menikah, Syarifah Mudaim/ Nyi Mas Ratu Rarasantang, ibunda Sunan Gunung Jati, memberikan nasihat pada putranya yang akan memasuki gerbang pernikahan. Sang ibunda bertutur dengan harus dan lembut, menasehati putranya.




[1] Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 36.

Puser Bumi Sebuah Daya Tarik Cirebon


Cirebon menyimpan rahasia besar, sehingga Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga kota Cirebon, memberikan brand “Cirebon, the Gate of Secret”. Khasanah budaya, sejarah, serta nilai-nilai luhur Cirebon begitu banyaknya, sehingga semakin kita mendalami Cirebon, maka kita akan semakin kagum dan semakin merasa kita hanya tahu sedikit dari lautan  ilmu yang dimiliki oleh Cirebon baik di masa lalu maupun kini. Banyak sejarah yang ditutupi oleh masyarakat Cirebon, terutama di kalangan keraton. Mereka biasa menyebutnya dengan “sejarah peteng”. Maksudnya sejarah yang dianggap tabu, sengaja ditutupi karena rasa takut terhadap penguasa ataupun dengan tujuan agar tidak menimbulkan konflik dan perpecahan antarsaudara. Mengungkap sejarah Cirebon sangatlah sulit. Naskah primer yang memuat tentang sejarah Cirebon secara utuh belum ditemukan. Begitu pula melakukan penggalian arkeologis merupakan hal yang mustahil. Karena situs-situs yang terdapat di wilayah Cirebon merupaka situs yang dikeramatkan oleh masyarakat sekitar dan lingkungan keraton.
Pada tahun 1362 Saka atau 1440 M tinggallah Ki Danusela, adik Ki Danuwarsih, bersama istrinya Nyi Arum Sari  beserta anak mereka Ratna Riris/ Nyi Kencana Larang di Tegal Alang-alang. Di tempat itu hanya berpenduduk 5 orang. Mereka adalah orang-orang yang terdesak dari Carbon Girang[1].Kemudian datanglah Pangeran Walangsungsang (Mbah Kuwu Cirebon II), Nyi Indang Geulis, dan Nyi Mas Ratu Rarasantang[2] di Kebon Pesisir. Pangeran Walangsungsang dan Nyi Ratu Mas Rara Santang adalah putra-putri Prabu Siliwangi[3], seorang raja besar yang berkuasa di Pakuan Pajajaran, hasil perkawinan dengan Nyi Mas Subanglarang atau Nyi Mas Subang Karancang, putri Ki Gede Tapa (Ki Jumajan Jati), seorang Syahbandar pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sebelum ibundanya wafat, ia berpesan kepada kedua putra-putrinya agar menuntut ilmu di Perguruan Gunung Jati pada Syekh Idhofi Mahdi atau Syekh Nurjati atau Syekh Datul Kahfi[4].
Ketika selesai menekuni ilmu dari Syekh Nurjati kurang lebih 3 tahun lamanya, mereka mengikuti petunjuk gurunya untuk membuka pemukiman baru di daerah yang masih liar dan belum berpenghuni.  Mereka membabat hutan Kebon Pesisir yang waktu itu masih berupa alang-alang pada 14 paro gelap bulan Cetra 1367 Saka (8 April 1445 M, yang dijadikan hari jadi Kota Cirebon). Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Nyi Indang Geulis adalah pendiri Cirebon dan perintis status kenegaraan. Dalam karya-karya Babad Cirebon diceritakan bahwa Syekh Nurjati memberi nama Pangeran Walangsungsang dengan sebutan Ki Somadullah.
Kebon Pesisir kemudian berkembang menjadi sebuah padukuhan. Waktu itu, orang yang tinggal di Kebon Pesisir, sekarang Lemah Wungkuk, hanya lima puluh orang. Mata pencaharian meraka saat itu adalah menangkap udang kecil dan ikan yang terletak di sebelah timur rumah mereka di tepi pantai. Udang kecil (rebon) tersebut kemudian dibuat terasi (belacan) dan petis. Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang disunting oleh Atja disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “Sarumban”, lalu mengalami proses perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan pengucapan menjadi “Carbon”, berubah lagi menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”.
Para wali menyebut Carbon sebagai “pusat jagat” atau puser bumi, negeri yang dianggap terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Menurut Nurdin M. Noer[5], puser bumi merupakan kata yang diadopsi dari Tiongkok, yang artinya pusat dunia (pusat peradaban dan kebudayaan dunia).  Masyarakat setempat menyebutnyaGrage” (asal kata dari “Garage” yang artinya  “Negara Gede). Menurut P. S. Sulendraningrat, sebagai penanggung jawab sejarah Cirebon dari kalangan keraton, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Ki Cakrabumi (Pangeran Cakrabuana). Proses pergantian nama dari Caruban sampai Grage, berjalan terus hingga sekarang menjadi “Cirebon” yang berasal dari kata “ci” artinya air dan “rebon” artinya udang kecil sebagai bahan pembuat terasi[6].
Pangeran Walangsungsang berhasil menarik para pendatang. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi oleh orang-orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban” artinya campuran. Di tempat ini berbagai bangsa, etnik, agama, dan bahasa bercampur. Pada tahun 1369 Saka atau 1447 Masehi, jumlah seluruh penduduk yang tinggal di Caruban adalah 346 orang. Laki-laki sebanyak 122 orang dan perempuan sebanyak 164 orang.  Dengan rincian orang Sunda sebanyak 196 orang, orang Jawa sebanyak  106 orang, orang Swarnabhumi (Sumatera) sebanyak  16 orang, orang Hujung Mendini (Semenanjung Malaka) sebanyak 4 orang, orang India sebanyak 2 orang, orang Parsi sebanyak 2 orang, orang Syam (Syiria) sebanyak 3 orang, orang Arab sebanyak 11 orang, dan orang Cina sebanyak 6 orang. Mereka patuh kepada peraturan di Caruban pada waktu itu[7]. Selanjutnya mereka mendirikan Masjid Jalagrahan/ Masjid Pejlagrahan yang terletak di tepi pantai. Sekarang Masjid tersebut terletak di luar tembok Keraton Kasepuhan bagian belakang.Syekh Nurjati/ Syekh Datuk Kahfi menganjurkan supaya Pangeran Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Pangeran Walangsungsang mematuhinya. Namun Nyi Indang Geulis tidak turut serta karena sedang hamil besar.  Pangeran Walangsungsang berangkat menunaikan ibadah haji bersama adiknya. Di Mekah, Nyi Mas Ratu Rara Santang bertemu dan menikah dengan salah seorang penguasa Mesir, raja di wilayah  Bani Israil di Filistin (Filastin)[8] dan melahirkan seorang wali besar pada tahun 1370 Saka atau 1448 M, Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, sang penyiar Islam di Jawa. Sepulang dari tanah suci Pangeran Walangsungsang  berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman[9].
Setelah menikahkan adiknya, Pangeran Walangsungsang pulang ke tanah Jawa, dengan terlebih dahulu singgah di Campa.  Kemudian beliau menikah dengan Nyi Ratna Riris atau Nyi Kencana Larang, putri Ki Danusela dan Nyi Arum Sari. Dari Perkawinan tersebut lahirlah Pangeran Carbon, yang kelak menjadi Panglima Perang Cirebon.Ketika Ki Pangalangalang meninggal,  Pangeran Walangsungsang terpilih sebagai Kuwu Cirebon menggantikan Ki Pangalangalang. Lalu, ia mendapat gelar Cakrabuana yang memerintah 457 orang penduduk desa Cirebon. Ketika Pangeran Walangsungsang Cakrabuana menjadi kuwu Cirebon yang kedua, kakek beliau, Ki Gedeng Jumajan Jati, Ratu Singapura, meninggal dunia. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana tidak menggantikan kedudukannya, namun beliau mewarisi seluruh kekayaannya.Kekayaan tersebut kemudian dibawa ke Cirebon dan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana mendirikan Keraton Pakungwati[10], sesuai dengan nama putrinya Nyi Mas Pakungwati, dari pernikahannya dengan Nyi Indang Geulis.  Pakuwuan Caruban kemudian menjadi Nagari Caruban Larang. Prabu Siliwangi, Maharaja Kerajaan Pajajaran, ayah Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, sangat senang. Ia kemudian mengutus dutanya, Tumenggung Jagabaya dengan membawa lambang kerajaan dan memberikan kekuasaan wilayah kepada Pangeran Walangsungsang. Pada tahun 1469 Masehi, Pangeran Cakrabuana diberi jabatan sebagai Tumenggung Naradipa yang setaraf dengan Prabu Anom/Raja Muda dan mendapat gelar Sri Mangana dari ayahnya, Prabu Siliwangi[11].



[1]  Carbon Girang atau Cirebon Girang adalah sebuah daerah di Kabupaten Cirebon, sekarang menjadi sebuah kecamatan. Daerah ini merupakan daerah lama yang sudah berpenghuni sejak zaman prasejarah, dengan ditemukannya sebuah patung/ arca gajah. Pada abad ke-5 di daerah ini telah berdiri sebuah kerajaan Hindu kecil yang bernama Indraprahasta. 
[2]   Pangeran Walangsungsang lahir pada tahun 1423 M, setahun setelah pernikahan kedua orang tuanya. Sedangkan Nyi Mas Ratu Rarasantang lahir 3 tahun kemudian yaitu pada tahun 1426 M.  Mereka meninggalkan keraton karena tidak kerasan tinggal di sana, tempat ayahandanya kembali memeluk agama  Budha setelah ibundanya wafat pada tahun 1441 M. 
[3]   Prabu Siliwangi yang dimaksud di sini adalah putra dari Prabu Anggalarang (Surawisesa) yang berasal dari Galuh. Prabu SIliwangi menjadi raja di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482 M dengan gelar penobatan Sang Prabu Dewatawisesa. Keratonnya disebut Sang Bima. Sedangkan dalam  Carita Parahiyangan, nama resmi Keraton Pakuan Pajajaran adalah Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati (Atja 1968 ; 73). Sedangkan Prabu Siliwangi adalah gelar menurut Carita Purwaka Caruban Nagari.
[4]  Badan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2005, Asal Usul Desa Bagian Kedua; Pemerintah Kabupaten Cirebon, hal. 157.
[5]   Seorang wartawan senior Radar Cirebon, dalam buku Menusa Cirebon, 2008, hal. 28.
[6]  Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu sampai sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik, dan ada juga yang menyatakan bahwa “grage” berasal dari kata “glagi,” yaitu udang kering untuk membuat terasi.
[7]   Yosep Iskandar, 2007.
[8]   Pada saat itu, Islam berada di puncak kejayaannya, pada masa pemerintahan Dinasti Usmani.
[9]  Nina H. Lubis dkk., 2000, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, Bandung: Alqaprint Jatinangor, hal. 29.
[10]  Menurut sumber lain, nama lain Keraton Pakungwati adalah Keraton Pakungdyah
[11] T.D. Sujana, hlm. 7.