Selasa, 05 Februari 2013

Cirebon dan Galuh dalam Ketegangan


Serangan Galuh ke Cirebon terjadi tahun 1528. Pasukan penyerang ini dihadang oleh pasukan Adipati Kuningan, Suranggajaya, di dekat Bukit Gundul. Suranggajaya adalah putera Ki Gedeng Luragung (Jayaraksa) yang diangkat anak oleh Arya Kemuning (Bratawiyana) dan sekaligus menjadi menantu Ratu Selawati. Ia diserahi tanggung jawab keamanan di daerah perbatasan dengan Galuh dan melindungi pondok pesantren yang tersebar di daerah tersebut. Pasukan Galuh terlalu banyak jumlahnya untuk dihadapi oleh pasukan Kuningan. Adipati Kuningan terdesak dan segera memohon bala bantuan ke Pakungwati. Bantuan datang dan dipimpin langsung oleh senapati tua Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang).Dalam pertempuran ini tampak apa kelebihan pasukan Demak. Mereka membawa meriam, dan orang Galuh tidak berdaya terhadap “panah yang berbunyi seperti Guntur, mengeluarkan asap hitam sambil memuntahkan logam panas” ini. Pasukan Galuh terdesak lalu mereka mengundurkan diri ke Talaga benteng terakhir. Kerajaan tua Galuh yang didirikan oleh Wretikandayun dalam tahun 612 itu runtuh dalam pertempuran di Bukit Gundul-Palimanan tahun 1528 Masehi.Tentang hal ini patut diberi catatan bahwa dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (1720 M) dan naskha-naskah yang lebih muda disebutkan Rajagaluh sehingga menimbulkan salah duga karena kebetulan di daerah Majalengka ada tempat yang bernama Rajagaluh yang usianya cukup tua. Dalam Pustaka Nusantara III/1 jelas tertulis bahwa yang kalah dalam pertempuran di Palimanan tahun 1450 Saka itu rajya ghaluh. Kata rajya berarti kerajaan.Penguasa Talaga waktu itu disebut dengan banyak nama: Suralaya, Rangga Mantri, Brajamusti, Batara Tina Buana, Sunan Parung Gangsa atau Pucuk Umun Talaga. Ia adalah putera Munding Surya Ageung (salah seorang putera Sri Baduga) dan menjadi raja daerah di Maja. Karena perkawinannya dengan Wulansari (Ratu Parung) cucu Ratu Simbarkancana, Sunan Parung Gangsa menjadi raja Talaga. Dalam hal ini ia mewarisi tahta dari mertuanya yaitu: Batara Sakawayana alias Sunan Parung atau Sunan Corenda.Susuhunan Jati tidak langsung menyerang Talaga karena hal ini memerlukan persiapan yang lebih matang. Di Talaga berkumpul hampir semua sisa-sisa kekuatan Kerajaan Galuh yang terakhir. Selain Jayaningrat raja Galuh yang terakhir di sana berkumpul pula pasukan dari Kerajaan Pasir Gula Sagandu. Rajanya, Jayasamara menikah dengan adik raja Talaga yang bernama Nyi Tanduran Gagang. Juga Arya Kiban bupati Galuh di Palimanan ikut memperkuat pertahanan Talaga.Persiapan Cirebon tertunda lagi karena Pangeran Walangsungsang pelindung Cirebon dan pendiri istana Pakungwati wafat tahun 1529. Kehilangan tokoh tua yang amat disegani di kawasan timur ini tentu sangat mempengaruhi suasana keraton Cirebon. Dia yang direstui ayahnya, Sri Baduga, menjadi penguasa di Cirebon tetapi kemudian secara ikhlas ia menyerahkan pelindungnya. Mungkin salah satu faktor yang mendorong tindakannya menyerahkan tahta Cirebon itu, adalah kasih sayangnya yang amat dalam kepada adiknya, Rara Santang yang menjadi ibunda Syarif Hidayat. Pergi naik haji pun adik perempuannya inilah yang dibawanya. Faktor lain tentu saja sebagai penganut Islam generasi pertama di Jawa Barat ia menginginkan Cirebon diperintah oleh keturunan Rasul Muhammad.Pada pihak lain Pangeran Walangsungsang mampu berdiri sama tengah di antara penganut berbagai mazhab yang saling bersaing. Ketika Susuhunan Jati akan “menumpas” penganut Syia’ah setelah Syekh Lemah Bang dijatuhi hukuman mati di halaman tajug Ciptarasa Cirebon, Walangsungsang-lah yang mampu mencegah hasrat tersebut. Peristiwa penangkapan guru besar mazhab Syi’ah di Cirebon Girang itu terjadi atas permintaan Sultan Demak, Raden Patah, sebagai akibat pemberontakan Pengging. 

Sunan Gunungjati dan Perjalanannya


Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabuana yang dibesarkan di negara ayahnya, Mesir, ketika berusia dua puluh tahun, pergi berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri di Mekah selama  dua tahun dan belajar kepada Syekh Ata’ullahi Sadzili yang bermazhab Syafii. Kemudian  Syarif Hidayat belajar ilmu tasawuf di Bagdad selama dua tahun. Setelah itu, ia kembali ke negara ayahnya dan diminta untuk menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk pergi ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama pamannya (kakak dari ibu).  Posisi Raja Mesir digantikan oleh adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayat singgah di Gujarat selama tiga bulan. Kemudian melanjutkan perjalanannya ke Paseh dan sempat tinggal untuk berguru agama Islam kepada Sayid Ishak selama dua tahun. Syarif Hidayat kemudian meneruskan perjalanannya dan sempat singgah di Banten. Di Banten sudah banyak yang memeluk agama Islam, yang telah disebarkan oleh Sunan Ampel. Oleh sebab itu, ia terlebih dahulu pergi ke Ampel untuk bersilaturahim dengan para wali di sana. Syarif Hidayat akhirnya sampai di Ampel. Di sana sedang diadakan pertemuan para wali. Syarif Hidayat kemudian diberi tugas untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon, yang saat itu di sana terdapat uwaknya Haji Abdullah Iman.
Dalam perjalanan, Syarif Hidayat berhasil mengislamkan Dipati Keling dan pengikutnya sebanyak sembilan puluh delapan orang. Akhirnya Syarif Hidayatullah bersama rombongan  tiba di Amparan Jati pada tahun 1470 M. Ia bertemu dengan uwaknya Pangeran Walangsungsang Cakrabuana. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana sangat senang. Syarif Hidayatullah memperoleh nasihat-nasihat dari Syekh Nurjati/Syekh Datul Kahfi. Setelah Syekh Datul Kahfi meninggal dunia, Syarif Hidayatullah menggantikan posisi Syekh Datul Kahfi sebagai ulama yang mengajarkan agama Islam dengan gelar Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati[1]. Syarif Hidayat menyebarkan Islam, berdakwah di Gunung Sembung dan atas bantuan uwaknya, mendirikan pondok pesantren di Gunung Sembung. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana kemudian meminta Syarif Hidayatullah untuk tinggal menetap dan menggantikan kepemimpinannya, menjadi raja dan pemimpin Agama Islam di Pulau Jawa. Tetapi Syarif Hidayatullah belum bersedia karena masih ingin berkelana. Pangeran Walangsungsang tidak berkeberatan.
Syarif Hidayatullah pun pergi mengembara ke arah barat dan bertemu dengan Ki Gedeng Babadan. Kemudian menikah untuk pertama kali dengan Nyi Mas Babadan atau Nyi Mas Retna Wati, putri Ki Gedeng Babadan pada tahun 1471 M. Sebelum menikah, Syarifah Mudaim/ Nyi Mas Ratu Rarasantang, ibunda Sunan Gunung Jati, memberikan nasihat pada putranya yang akan memasuki gerbang pernikahan. Sang ibunda bertutur dengan harus dan lembut, menasehati putranya.




[1] Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 36.

Puser Bumi Sebuah Daya Tarik Cirebon


Cirebon menyimpan rahasia besar, sehingga Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga kota Cirebon, memberikan brand “Cirebon, the Gate of Secret”. Khasanah budaya, sejarah, serta nilai-nilai luhur Cirebon begitu banyaknya, sehingga semakin kita mendalami Cirebon, maka kita akan semakin kagum dan semakin merasa kita hanya tahu sedikit dari lautan  ilmu yang dimiliki oleh Cirebon baik di masa lalu maupun kini. Banyak sejarah yang ditutupi oleh masyarakat Cirebon, terutama di kalangan keraton. Mereka biasa menyebutnya dengan “sejarah peteng”. Maksudnya sejarah yang dianggap tabu, sengaja ditutupi karena rasa takut terhadap penguasa ataupun dengan tujuan agar tidak menimbulkan konflik dan perpecahan antarsaudara. Mengungkap sejarah Cirebon sangatlah sulit. Naskah primer yang memuat tentang sejarah Cirebon secara utuh belum ditemukan. Begitu pula melakukan penggalian arkeologis merupakan hal yang mustahil. Karena situs-situs yang terdapat di wilayah Cirebon merupaka situs yang dikeramatkan oleh masyarakat sekitar dan lingkungan keraton.
Pada tahun 1362 Saka atau 1440 M tinggallah Ki Danusela, adik Ki Danuwarsih, bersama istrinya Nyi Arum Sari  beserta anak mereka Ratna Riris/ Nyi Kencana Larang di Tegal Alang-alang. Di tempat itu hanya berpenduduk 5 orang. Mereka adalah orang-orang yang terdesak dari Carbon Girang[1].Kemudian datanglah Pangeran Walangsungsang (Mbah Kuwu Cirebon II), Nyi Indang Geulis, dan Nyi Mas Ratu Rarasantang[2] di Kebon Pesisir. Pangeran Walangsungsang dan Nyi Ratu Mas Rara Santang adalah putra-putri Prabu Siliwangi[3], seorang raja besar yang berkuasa di Pakuan Pajajaran, hasil perkawinan dengan Nyi Mas Subanglarang atau Nyi Mas Subang Karancang, putri Ki Gede Tapa (Ki Jumajan Jati), seorang Syahbandar pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sebelum ibundanya wafat, ia berpesan kepada kedua putra-putrinya agar menuntut ilmu di Perguruan Gunung Jati pada Syekh Idhofi Mahdi atau Syekh Nurjati atau Syekh Datul Kahfi[4].
Ketika selesai menekuni ilmu dari Syekh Nurjati kurang lebih 3 tahun lamanya, mereka mengikuti petunjuk gurunya untuk membuka pemukiman baru di daerah yang masih liar dan belum berpenghuni.  Mereka membabat hutan Kebon Pesisir yang waktu itu masih berupa alang-alang pada 14 paro gelap bulan Cetra 1367 Saka (8 April 1445 M, yang dijadikan hari jadi Kota Cirebon). Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Nyi Indang Geulis adalah pendiri Cirebon dan perintis status kenegaraan. Dalam karya-karya Babad Cirebon diceritakan bahwa Syekh Nurjati memberi nama Pangeran Walangsungsang dengan sebutan Ki Somadullah.
Kebon Pesisir kemudian berkembang menjadi sebuah padukuhan. Waktu itu, orang yang tinggal di Kebon Pesisir, sekarang Lemah Wungkuk, hanya lima puluh orang. Mata pencaharian meraka saat itu adalah menangkap udang kecil dan ikan yang terletak di sebelah timur rumah mereka di tepi pantai. Udang kecil (rebon) tersebut kemudian dibuat terasi (belacan) dan petis. Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang disunting oleh Atja disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “Sarumban”, lalu mengalami proses perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan pengucapan menjadi “Carbon”, berubah lagi menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”.
Para wali menyebut Carbon sebagai “pusat jagat” atau puser bumi, negeri yang dianggap terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Menurut Nurdin M. Noer[5], puser bumi merupakan kata yang diadopsi dari Tiongkok, yang artinya pusat dunia (pusat peradaban dan kebudayaan dunia).  Masyarakat setempat menyebutnyaGrage” (asal kata dari “Garage” yang artinya  “Negara Gede). Menurut P. S. Sulendraningrat, sebagai penanggung jawab sejarah Cirebon dari kalangan keraton, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Ki Cakrabumi (Pangeran Cakrabuana). Proses pergantian nama dari Caruban sampai Grage, berjalan terus hingga sekarang menjadi “Cirebon” yang berasal dari kata “ci” artinya air dan “rebon” artinya udang kecil sebagai bahan pembuat terasi[6].
Pangeran Walangsungsang berhasil menarik para pendatang. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi oleh orang-orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban” artinya campuran. Di tempat ini berbagai bangsa, etnik, agama, dan bahasa bercampur. Pada tahun 1369 Saka atau 1447 Masehi, jumlah seluruh penduduk yang tinggal di Caruban adalah 346 orang. Laki-laki sebanyak 122 orang dan perempuan sebanyak 164 orang.  Dengan rincian orang Sunda sebanyak 196 orang, orang Jawa sebanyak  106 orang, orang Swarnabhumi (Sumatera) sebanyak  16 orang, orang Hujung Mendini (Semenanjung Malaka) sebanyak 4 orang, orang India sebanyak 2 orang, orang Parsi sebanyak 2 orang, orang Syam (Syiria) sebanyak 3 orang, orang Arab sebanyak 11 orang, dan orang Cina sebanyak 6 orang. Mereka patuh kepada peraturan di Caruban pada waktu itu[7]. Selanjutnya mereka mendirikan Masjid Jalagrahan/ Masjid Pejlagrahan yang terletak di tepi pantai. Sekarang Masjid tersebut terletak di luar tembok Keraton Kasepuhan bagian belakang.Syekh Nurjati/ Syekh Datuk Kahfi menganjurkan supaya Pangeran Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Pangeran Walangsungsang mematuhinya. Namun Nyi Indang Geulis tidak turut serta karena sedang hamil besar.  Pangeran Walangsungsang berangkat menunaikan ibadah haji bersama adiknya. Di Mekah, Nyi Mas Ratu Rara Santang bertemu dan menikah dengan salah seorang penguasa Mesir, raja di wilayah  Bani Israil di Filistin (Filastin)[8] dan melahirkan seorang wali besar pada tahun 1370 Saka atau 1448 M, Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, sang penyiar Islam di Jawa. Sepulang dari tanah suci Pangeran Walangsungsang  berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman[9].
Setelah menikahkan adiknya, Pangeran Walangsungsang pulang ke tanah Jawa, dengan terlebih dahulu singgah di Campa.  Kemudian beliau menikah dengan Nyi Ratna Riris atau Nyi Kencana Larang, putri Ki Danusela dan Nyi Arum Sari. Dari Perkawinan tersebut lahirlah Pangeran Carbon, yang kelak menjadi Panglima Perang Cirebon.Ketika Ki Pangalangalang meninggal,  Pangeran Walangsungsang terpilih sebagai Kuwu Cirebon menggantikan Ki Pangalangalang. Lalu, ia mendapat gelar Cakrabuana yang memerintah 457 orang penduduk desa Cirebon. Ketika Pangeran Walangsungsang Cakrabuana menjadi kuwu Cirebon yang kedua, kakek beliau, Ki Gedeng Jumajan Jati, Ratu Singapura, meninggal dunia. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana tidak menggantikan kedudukannya, namun beliau mewarisi seluruh kekayaannya.Kekayaan tersebut kemudian dibawa ke Cirebon dan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana mendirikan Keraton Pakungwati[10], sesuai dengan nama putrinya Nyi Mas Pakungwati, dari pernikahannya dengan Nyi Indang Geulis.  Pakuwuan Caruban kemudian menjadi Nagari Caruban Larang. Prabu Siliwangi, Maharaja Kerajaan Pajajaran, ayah Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, sangat senang. Ia kemudian mengutus dutanya, Tumenggung Jagabaya dengan membawa lambang kerajaan dan memberikan kekuasaan wilayah kepada Pangeran Walangsungsang. Pada tahun 1469 Masehi, Pangeran Cakrabuana diberi jabatan sebagai Tumenggung Naradipa yang setaraf dengan Prabu Anom/Raja Muda dan mendapat gelar Sri Mangana dari ayahnya, Prabu Siliwangi[11].



[1]  Carbon Girang atau Cirebon Girang adalah sebuah daerah di Kabupaten Cirebon, sekarang menjadi sebuah kecamatan. Daerah ini merupakan daerah lama yang sudah berpenghuni sejak zaman prasejarah, dengan ditemukannya sebuah patung/ arca gajah. Pada abad ke-5 di daerah ini telah berdiri sebuah kerajaan Hindu kecil yang bernama Indraprahasta. 
[2]   Pangeran Walangsungsang lahir pada tahun 1423 M, setahun setelah pernikahan kedua orang tuanya. Sedangkan Nyi Mas Ratu Rarasantang lahir 3 tahun kemudian yaitu pada tahun 1426 M.  Mereka meninggalkan keraton karena tidak kerasan tinggal di sana, tempat ayahandanya kembali memeluk agama  Budha setelah ibundanya wafat pada tahun 1441 M. 
[3]   Prabu Siliwangi yang dimaksud di sini adalah putra dari Prabu Anggalarang (Surawisesa) yang berasal dari Galuh. Prabu SIliwangi menjadi raja di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482 M dengan gelar penobatan Sang Prabu Dewatawisesa. Keratonnya disebut Sang Bima. Sedangkan dalam  Carita Parahiyangan, nama resmi Keraton Pakuan Pajajaran adalah Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati (Atja 1968 ; 73). Sedangkan Prabu Siliwangi adalah gelar menurut Carita Purwaka Caruban Nagari.
[4]  Badan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2005, Asal Usul Desa Bagian Kedua; Pemerintah Kabupaten Cirebon, hal. 157.
[5]   Seorang wartawan senior Radar Cirebon, dalam buku Menusa Cirebon, 2008, hal. 28.
[6]  Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu sampai sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik, dan ada juga yang menyatakan bahwa “grage” berasal dari kata “glagi,” yaitu udang kering untuk membuat terasi.
[7]   Yosep Iskandar, 2007.
[8]   Pada saat itu, Islam berada di puncak kejayaannya, pada masa pemerintahan Dinasti Usmani.
[9]  Nina H. Lubis dkk., 2000, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, Bandung: Alqaprint Jatinangor, hal. 29.
[10]  Menurut sumber lain, nama lain Keraton Pakungwati adalah Keraton Pakungdyah
[11] T.D. Sujana, hlm. 7.

Senin, 28 Januari 2013

Pangeran Walang Sungsang Sang Pendiri Caruban


Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dengan gelar raja muda. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana merintis Caruban Nagari dari jenjang yang paling bawah sampai menjadi raja muda. Perintisannya diantaranya membuat pemukiman di Tegal Alang Alang, hingga akhirnya disebut Caruban yang artinya campuran. Membuat lahan pertanian di daerah Panjunan, membuat industry produk laut diantaranya terasi, petis, ikan kering dan garam. Mendirikan masjid dan Keraton Pakungwati dengan pembiayaan darai warisan kakeknya Ki Ageng Tapa, serta membuat pasukan keamanan lengkap dengan angkatan bersenjatanya.  Pada saat Pangeran Walangsungsangmenjadi pemimpin di Caruban, Ayahnya, Raja Sunda merestui dengan mengirim Tumenggung Jagabaya membawa panji-panji kerajaan serta memberikan wilayah kekuasaan kepada Pangeran Walngsungsang Cakrabuana.
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, bukan semata-mata untuk membentuk suatu pemerintahan yang berkuasa, namun mempersiapkan perkembangan dakwah Islamiyah yang menjadi cita-cita saat itu, yang kelanjutannya akan diteruskan oleh anak dari adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang, yaitu Syarief Hidayat. Pengetahuan tentang akan datang seorang pemimpin dan pemuka agama islam, yang tidak lain adlah keponakannya sendiri, telah diketahui berdasarkan nasehat dari guru-guru keduanya diantaranya adalah Syekh Quro, Syekh Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi.
Pangeran Walangsungsang bertemu Syekh Quro, di dalam pertemuan tersebut. Syekh Quro mengatakan kepada Pangeran Walangsungsang bahwa kelak adiknya akan berjodoh dengan raja Mesir dan akan dianugerahi anak yang bernama Maulana Jati, yang kelak ditakdirkan menjadi penguasa Cirebon. Seperti yang tertera dalam Naskah Carub Kanda Carang Seket.
Pada kesempatan yang berbeda, pada saat Pangeran Walangsungsang hendak berguru pada Syekh Maulana Magribi[1], Syekh Maulana Magribi  menolak untuk menjadi guru mereka. Ia menyarankan Pangeran Walangsungsang untuk berguru pada Syekh Datul Kahfi/ Syekh Maulana Idhofi. Pada pertemuan tersebut Syekh Maulana Magribi mengatakan bahwa pada saat Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang menunaikan ibadah haji, maka beliau akan dinikahi oleh Sultan Mesir dan menikah disana, kemudian dari pernikahan tersebut akan lahir pemimpin para wali di Pulau Jawa.   Pertemuan Pangeran Walangsungsang dengan Syekh Maulana Magribi tersebut terekam dalam  Carub Kanda Carang Seket pupuh Asmarandana.
Pangeran Cakrabuana dan Nyi Mas Ratu Rarasantang kemudian menuruti saran dari Syekh Maulana Magribi berguru pada Syekh Datul Kahfi pada tahun 1442 M. Nyekh Datul Kahfi beserta istrinya sangat senang akan kedatangan keduanya. Mereka diperkenankan tinggal di Gunung Jati dan melarang keduanya kembali ke Negara Sunda. Syekh Datul Kahfi mengatakan pada Nyi Mas Ratu Rarasantang bahwa ia kelak akan bersuamikan Sultan Bani Israil, dan darinya akan lahir seorang anak yang akan meng-Islamkan tanah Sunda, mengalahkan agama Sunda.  
Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana memperoleh banyak nasehat dan ilmu dari Syekh Datul Kahfi.  Setelah tiga tahun berguru, mereka kemudian diperintahkan oleh Syekh Datul Kahfi untuk membuka Tegal Alang-Alang di Lemahwungkuk yang merupakan cikal bakal kota Cirebon. Pada tanggal 14 bagian terang bulan Carita tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April tahun 1445 Masehi, bertepatan dengan masuknya penanggalan 1 Muharam 848 Hijriyah, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah dibantu 52 orang penduduk, membuka perkampungan baru di hutan pantai kebon pesisir.[2] Lama kelamaan daerah Tegal Alang-Alang berkembang menjadi pedukuhan yang maju. Tak lama kemudian mereka diperintahkan untuk menunaikan Rukun Islam kelima.  Setelah berhaji Nyi Mas Ratu Rarasantang bernama Hajjah Syarifah Mudaim, sedangkan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana menjadi Haji Abdullah Iman.
Pada saat itulah Nyi Mas Ratu Rarasantang bertemu dengan  Maulana Sultan Mahmud/ Syarif Abdullah/ Sultan Amiril Mukminin/ Sultan Khut, Anak Nurul Alim dari bangsa Hasyim (Bani Ismail), yang memerintah kota Ismailiyah, Palestina.  Maulana Sultan Mahmud, yang baru saja ditinggal mati oleh istrinya bermaksud menikahi Nyi Mas Ratu Rarasantang. Syarif Abdullah pergi ke arah timur dari istananya dengan mengajak Nyi Mas Ratu Rarasantang ke bukit Tursinah dengan diikuti Pangeran Cakrabuana dan patih Jalalluddin. Disana ia melamar Nyi Mas Rarasantang. Perjanjian pra nikah antara keduanya di Bukit Tursina[3] terdapat dalalam Pupuh Kasmaran Naskah Mertasinga, Carang Seket, Serat Kawedar dan Sejarah Lampah ing para Wali Kabeh. Isi dari perjanjian tersebut adalah bahwa Nyi Mas Ratu Rarasantang bersedia dinikahi oleh  Syarif Abdullah dengan syarat bahwa bila ia melahirkan anak laki-laki, anak tersebut diperbolehkan untuk menjadi pemimpin agama di Jawa untuk mengislamkan saudara-saudaranya di Padjajaran.[4] Perjanjian tersebut dihadiri oleh Pangeran Walangsungsang Cakrabuana selaku wali dari Nyi Mas Rarasantang. Syarif Abdullah menyepakati perjanjian tersebut.  
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana pun menyetujui perjanjian tersebut. Karena hal tersebut pun telah diramalkan pada saat pertemuan mereka dengan Syekh Quro,  Syekh Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi. Yang secara tidak langsung ramalan tersebut merupakan nasehat dan sekaligus merupakan amanat dari para pemuka agama di sana saat itu.
Akhirnya Nyi Mas Ratu Rarasantang menikah dengan Maulana Sultan Mahmud. Menikahnya Syarifah Mudaim dan Syarif Abdullah bukan merupakan kebetulan belaka.[5] Syarif  Abdullah adalah adik ipar dari Syekh Datul Kahfi.  Antara Syekh Datul Kahfi, Syekh Quro dan Syekh Maulana Magribi merupakan utusan utusan dari Persia[6] yang diperintahkan baik secara langsung maupun tidak langsung[7] untuk menyebarkan  Agama Islam diluar jazirah Arab. Penyebaran agama Islam keluar jazirah Arab sudah dilakukan beberapa abad sebelumnya, tetapi belum sanggunp mengislamisasi masal penduduk di luar jazirah Arab. Bahkan ratusan orang mati sahid dalam perjuan dakwah tersebut. Sampai akhirnya abad ke-13 penyebaran Islam di jazirah Arab mulai mengalami penurunan, sehingga dibuatlah strategi dakwah untuk tetap menyebarkan Islam dengan cara mengirimkan para pemuka agama ke berbagai daerah.  Selain berdakwah, para penyebar agama Islam tersebut menikah pula dengan penduduk lokal. Pernikahan Nyi Mas Ratu Rarasantang merupakan sebuah skenario besar untuk melakukan Islamisasi masal melalui keturunan mereka di kemudian hari. Dengan cara mensugesti Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang, sehingga mereka mau mengikuti petunjuk para guru mereka. Para pendakwah senior tersebut telah mengkaji dan mengambil pelajaran dari pengamalan mereka sebelumnya, dimana perkawinan antar mualaf Nyi Mas Subang Karancang, ibunda Nyi Mas Ratu Rarasantang yang berguru pada Syekh Quro,  dengan Pemanah Rasa, calon Raja Sunda, gagal, tidak berhasil mengislamkan tanah Sunda, sehingga mereka membuat strategi dakwah baru dengan cara kaderisasi potensi calon-calon pendakwah baru. Salah satu caranya adalah mengawinkan anak-anak perempuan keturunan raja-raja Jawa dengan keturunan raja-raja di Timur Tengah, yang keturunan nabi, sehingga keturunannya yang akan menyebarkan agama Islam kelak memiliki legitimasi.
Pada tahun 1448 M,Syarifah Mudaim  yang dalam keadaan hamil tua menunaikan ibadah haji kembali. Di Kota Mekah ia melahirkan Syarif Hidayatullah di Kota Mekah. Dua tahun kemudian lahirlah Syarif Nurullah, adik Syarif Hidayat.
Syarif Hidayat, keponakan Pangeran Cakrabuana dibesarkan di negara ayahnya, Mesir. Syarif Hidayat tumbuh menjadi  pemuda yang cerdas.  Syarif Hidayatullah sangat taat menjalankan syariat Islam. Ia seorang muslim yang takwa. Syarif Hidayat gemar mempelajari ajaran Agama Islam. Ia bercita-cita mengajarkan dan menyebarkan agama Islam.Suatu hari ia membaca dan mempelajari sebuah kitab. Dari kitab tersebut ia menyatakan keinginannya kkepada ibundanya, Syarifah Mudaim, berguru kepada Nabi Muhammad SAW. Syariffah Mudaim mengatakan bahwa Rasulullah telah meninggal dunia. Dengan ilmu yang dipelajari oleh Syarif Hidayat secara diam-diam,  melalui silaturruhiyah ia bertemu dengan Nabi Khidir dan Rasulullah, hal tersebut merupakan perjalanan spiritual Syarif Hidayat yang ditulis pada Naskah Mertasinga dan Naskah Kuningan. Dalam naskah tersebut, Syarif Hidayat  hendak berguru kepada Rasulullah. Namun Rasullullah menyuruh Syarif Hidayat mencari guru dzohir.
Sehingga ketika berusia dua puluh tahun, pergi ke Mekah, berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri/ Najmuddin. Naskah Kuningan menjelaskan tentang Syarif Hidayat yang berguru kepada Syekh Tajuddin. Kepada Syekh Tajuddin, Syarif Hidayat belajar adab para guru, dzikir, silsilah, shugul, Tarekat Isqiyah, dan adab Syatori[8]. Ia juga belajar tentang ilmu syariat, ilmu tarekat, ilmu hakekat dan ilmu makrifat. Pada saat berguru pada Syekh Tajuddin, Syarif Hidayat diberi nama Madkurullah.
Setelah dua tahun lamannya, Syarif Hidayat kemudian menuntut ilmu tawasul rasul pada Syekh Athaullah Sadili, yang bermahzab Syafi’i  di Bagdad. Darinya Syarif Hidayat juga belajar istilah Sirr (Sirrullah), Tarekat Syaziliyah, Tarekat Syatariyah, Isyki Naqisbandiyah, dzikir jiarah, bermeditasi,  riyadhah (latihan tarekat/sufi) di tempat-tempat suci.  Oleh Syekh Athaullah, Syarif idayat diberi nama Arematullah.
Setelah itu ia kembali ke negara ayahnya, dan diminta untuk menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk pergi ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama pamannya, Pangeran Walangsungsang Cakrabuana.  Posisi Raja Mesir diserahkan dari Patih Ongkhajuntra, paman Syarif Hidayat kepada oleh adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayat memiliki banyak nama yaitu Sayyid Kamil dan  Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Sultanil Mahmud al Kibti[9].  Kemudian Sayid Kamil pergi ke pulau Jawa, di perjalanananya  ia singgah di Gujarat, tingal disitu selama tiga bulan, selanjutnya ia tingal di Paseh (Pasei). Di Paseh, Syarif Hidayat tinggal di pondok saudaranya selama dua tahun, yaitu Sayid Ishaq [10], bapak Raden Paku/ Sunan Giri, yang menjadi guru agama Islam di Paseh di Sumatra.   
Kemudian Syarif Hidayat pergi ke ke pulau Jawa, singgah di negeri Banten. Disini banyak penduduk telah memeluk agama Rasul, karena Sayyid Rahmat (Ngampel Gading) telah menyebarkan Agama Islam di sini, yang di gelari Susuhunan Ampel, juga salah seorang saudaraanya.
Berdasarkan Naskah Kuningan, Syarif Hidayat kemudian berguru pada Syekh Sidiq di Surandil  jati wisik (ajaran sejati), ba’iyat serta muhal maha, talkin dalam dzikir sirr, tarekat Muhammadiyah, Anapsiah, dan Jaujiyah Makomat Pitu[11], serta melakukan kanaat dan uzlah.
Syarif Hidayat kemudian berguru kepada Syekh Mad Kurullah (Syekh Quro) di Gunung Gundul. Syekh Quro adalah penganut mahdzab Hanafi. Pada saat berguru pada Syekh Quro, Syarif Hidayat banyak mempelajari dan mengalami perjalanan spiritual. Kemudian ia diperintahkan berguru pada Syekh Bahrul al Amien, yang tinggal di sebelah utara Kudus. Syarif hidayat berguru mengenai sifat-sifat jati (baca : sempurna), rasa jati (sejatine rasa), khofiyah, dukiyah, sarariyah (rasa yang sejati) ranaban. Belajar mengenai Sirrullah, ya hati ya badan, ya badan, ya roh, ya badan ya nyawa, nyawa adalah wujud tunggalnya Dzatullah (ibarat punglu). Rasa yang sejati, rasa goib, yang tidak ada antara dengan yang agung, ya badan ya rasa, ibarat jambe/ pinang yang menyatu antara kulit dengan buahnya. Kemudian Datul Bahrul kemudian memberi nama Syarif Hidayat dengan Wujudullah dan menyarankan Syarif  Hidayat menambah pengetahuan tentang pada Sunan Ampel Denta. Maka berangkatlah Syarif Hidayat  pergi ke Ngampel dengan naik perahu milik orang Jawa Timur. Perjalanan Syarif Hidatyat berguru pada beberapa orang tertulis dalam Kitab Negara Kertabhumi.
Setibanya Syarif Hidayat/ Wujudullah di Ampel Denta lalu pergi menghadap dan menyampaikan hormatnya kepada yang mulia Sunan Ampel. Maka Wujudullah pun kemudian mengabdi di Ampel Denta dan dia diangkat saudara oleh anak-anaknya. Di sana sudah berguru pula murid yang lain diantaranya , Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan KaliJaga. Wujudullah sangat disayangi oleh Sunan Ampel karena berbagai ilmu yang diajarkan oleh Sunan Ampel dapat dikuasai oleh Wujudullah.
Sementara itu, para Wali semuanya (sedang) ada di situ, mereka masing-masing di beri tugas mengajarkan agama Rasul kepada penduduk di daerah yang menganut agama Siwa- Budha. Kemudian Syarif Hidayat meminta nasehat pada Sunan Ampel. Sunan Ampel memberikan nasihat sebagai berikut :
“he putra, jandika iku mung aja ngebat-tebati, iku laku ingkang ala.lawan putra ya den wani  ngajaga ing perkara agama ingkang sayakti. Lan kang sabar putera iku, tawekal maring yang Widhi. Lan den esak maring sanak, saying ing kawla wargi, lawan putera ya den inget enggal, saniki wis sedeng dadi. Molana ingkang luhung, dadi guru ing Gunung Jati, ya kalawan uwa dika, mapan waris saking umi. Cipamali wates sira dumugi ing ujung kulon. Inggih waris dika ikumugi jandika wengkoni. Mung pacuan ngembat-embatan, sabab lepen cipamali wawtesing balambangan iku dudu dika waris. Poma-poma ya den emut, lawan putera dika yen wangsul ing amparan sampun margi ing darat, marginana sing lautan”.
(Anakku, janganlah kamu bertindak berlebihan karena itu adalah sifat yang tercela, dan beranilah menjaga kebenaran agama, bersabarlah, tawakkal kepada yang Maha esa, dan jangan menyakiti sesame saudara. Dan ingatlah anakku bahwa sekarang sudah cukup waktunya anakku untuk menjadi Maulana yang luhur dan menjadi Guru di Gunungjati bersama uwakmu. Mewarisi pusaka ibumu, dari Cipamali hingga di Ujung Kulon, itulah warisanmu. Hanya saja hati-hati bahwa batas dari sungan Cipamali hingga Blambangan itu bukanlah warisanmu. Ingatlah nasihatku baik-baik, dan anakku bilmana kamu pulang ke Amparan janganlah pulang melalui daratan, pergilah melalui lautan). Demikianlah pesan sang guru.[12]
Sayid kamil menerima tugas di negeri Carbon, yaitu di Gunung Sembung, karena disana tempat tinggal uwanya, yaitu Haji Abdullah Iman yang menjadi Kuwu Carbon kedua.
Syarif Hidayat menuruti nasehat Sunan Ampel.
Dalam perjalanan ke Carbon, Syarif Hidayat bertemu dengan Dipati Keling dan berhasil mengislamkannya berikut rombongan mereka sejumlah sembilan puluh delapan orang. Selanjutnya Dipati Keling dan rombonganpa tahun, nya menjadi pengikut Syarif Hidayat yang setia.
Setibanya di Carbon Syarif Hidayat  kemudian membangun pondok dan menjadi guru agama Islam. Di Babadan Syarif Hidayat mengislamkan Ki Gede Babadan dan menikah dengan putrinya Ki Gede Babadan. Umur pernikahan mereka hanya berlangsung beberapa tahun karena Nyi Mas Babadan meninggal dunia. Kemudian Syarif Hidayat menikah dengan Syaripah Bagdad, putri Syekh Datul Kahfi.


[1]  Syekh Maulana Magribi terkenal karena berhasil memotong rambut Syekh Magelung Sakti, sehingga Syekh Magelung Sakti dengan sukarela bersedia memeluk Agama Islam dan menjadi murid Syekh Maulana Magribi.
[2]  Yoseph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat : (Yuganing Rajakawasa). Cetakan Pertama : Bandung. CV. Geger Sunten. Hal 256
[3]  Bukit Tursina merupakan bukit suci tempat Nabi Musa as menerima Ten of Commandement (sepuluh perintah Tuhan).menjadi pemimpin di tanah Jawa berlatar belakang
[4]  Nyi Mas Ratu Rarasantang meminta salah seorang putranya agar menjadi pemimpin di tanah Jawa berlatar belakang kesedihan terhadap ayahnya, Prabu Siliwangi,  keluarganya dan rakyat Padjajaran yang memeluk agama Hindu pasca ibundanya, Nyi Mas Ratu Subangkarancang meninggal dunia. Keinginan Nyi Mas Ratu Rarasantang tersebut terdapat dalam  Sinom Serat Catur Kanda hal 10-11. Perjanjian tersebut belatar belakang pula dari nasehat-nasehat yang diterima oleh Nyi Mas Ratu Rarasantang pada saat bertemu Syekh Quro, Syekh Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi yang secara tidak langsung mensugestinya.
[5]  Ada kemungkinan pula mereka telah dijodohkan.
[6]  Carita Purwaka Caruban Nagari, Parwa I Sargah 3, hal 166.
[7]  Syekh Quro diperintahkan oleh Kerajaan Campa yang saat itu telah memiliki hubungan dengan Persia (Iran)
[8]  Syatoriyah berkembang di Mandu, India (sebelah timur Gujarat) dengan pesat setelah dipopulerkan oleh Abdullah Syatori, yang wafat di India pada 1236 M (633 H). Ia adalah keturunan Syekh Syihabuddin Suhrawardi yang dikirim oleh gurunya, Syekh Muhammad Arif, ke India. Berdasarkan informasi ini kemungkinan Abdullah Syatori lahir dan menjalani masa pendidikannya di Persia.
[9] Pustaka Negara Kertabhumi hal. 133
[10] Sayyid Ishaq merupakan saudara sepupu Syekh Nurjati yang menikah dengan Ratu Blambangan.  
[11]  Tarekat Jaujiyah didirikan oleh Ibnu Qayim al Jauziyah(691-751 H) atau Muhammad Abi Bakar bin Ayub Sa’ad bin Harist al Zar’I Damsyqi Abu Abdullah Syamsuddin, dilahirkan di kota Damaskus.
[12] Mertasinga hal 28