Selasa, 05 Februari 2013
Sunan Gunungjati dan Perjalanannya
Syarif Hidayatullah, keponakan
Pangeran Cakrabuana yang dibesarkan di negara ayahnya, Mesir, ketika berusia
dua puluh tahun, pergi berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri di Mekah selama dua tahun dan belajar kepada Syekh Ata’ullahi
Sadzili yang bermazhab Syafii. Kemudian Syarif Hidayat belajar ilmu tasawuf di Bagdad selama dua tahun. Setelah itu, ia kembali ke negara ayahnya dan diminta untuk
menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk pergi
ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama pamannya (kakak dari ibu). Posisi Raja Mesir digantikan oleh adiknya,
Syarif Nurullah.
Syarif Hidayat singgah di Gujarat selama tiga bulan.
Kemudian melanjutkan perjalanannya ke Paseh dan sempat tinggal untuk berguru
agama Islam kepada Sayid Ishak selama dua tahun. Syarif Hidayat kemudian
meneruskan perjalanannya dan sempat singgah di Banten. Di Banten sudah banyak
yang memeluk agama Islam, yang telah disebarkan oleh Sunan Ampel. Oleh sebab
itu, ia terlebih dahulu pergi ke Ampel untuk bersilaturahim dengan para wali di
sana. Syarif Hidayat akhirnya sampai di Ampel. Di sana sedang diadakan
pertemuan para wali. Syarif Hidayat kemudian diberi tugas untuk menyebarkan agama
Islam di Cirebon, yang saat itu di sana terdapat uwaknya Haji Abdullah Iman.
Dalam perjalanan, Syarif Hidayat berhasil mengislamkan
Dipati Keling dan pengikutnya sebanyak sembilan puluh delapan orang. Akhirnya Syarif
Hidayatullah bersama rombongan tiba di
Amparan Jati pada tahun 1470 M. Ia bertemu dengan uwaknya Pangeran Walangsungsang
Cakrabuana. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana sangat senang. Syarif Hidayatullah memperoleh nasihat-nasihat
dari Syekh Nurjati/Syekh Datul Kahfi. Setelah Syekh Datul Kahfi meninggal
dunia, Syarif Hidayatullah menggantikan posisi Syekh Datul Kahfi sebagai ulama
yang mengajarkan agama Islam dengan gelar Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati[1]. Syarif Hidayat menyebarkan Islam, berdakwah di Gunung Sembung dan
atas bantuan uwaknya, mendirikan pondok pesantren di Gunung Sembung. Pangeran
Walangsungsang Cakrabuana kemudian meminta Syarif Hidayatullah untuk tinggal
menetap dan menggantikan kepemimpinannya, menjadi raja dan pemimpin Agama Islam
di Pulau Jawa. Tetapi Syarif Hidayatullah belum bersedia karena masih ingin
berkelana. Pangeran Walangsungsang tidak berkeberatan.
Syarif Hidayatullah pun pergi mengembara ke arah
barat dan bertemu dengan Ki Gedeng Babadan. Kemudian menikah untuk pertama kali
dengan Nyi Mas Babadan atau Nyi Mas Retna Wati, putri Ki Gedeng Babadan pada
tahun 1471 M. Sebelum menikah, Syarifah Mudaim/ Nyi Mas Ratu Rarasantang,
ibunda Sunan Gunung Jati, memberikan nasihat pada putranya yang akan memasuki
gerbang pernikahan. Sang ibunda bertutur dengan harus dan lembut, menasehati
putranya.
Puser Bumi Sebuah Daya Tarik Cirebon
Cirebon menyimpan rahasia besar, sehingga Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga kota
Cirebon, memberikan brand “Cirebon, the Gate of Secret”. Khasanah budaya, sejarah, serta nilai-nilai
luhur Cirebon begitu banyaknya, sehingga semakin kita mendalami Cirebon, maka
kita akan semakin kagum dan semakin merasa kita hanya tahu sedikit dari lautan ilmu yang dimiliki oleh Cirebon baik di masa
lalu maupun kini. Banyak sejarah yang ditutupi oleh
masyarakat Cirebon, terutama di kalangan keraton. Mereka biasa menyebutnya
dengan “sejarah peteng”. Maksudnya
sejarah yang dianggap tabu, sengaja ditutupi karena rasa takut terhadap penguasa
ataupun dengan tujuan agar tidak menimbulkan konflik dan perpecahan antarsaudara.
Mengungkap sejarah Cirebon sangatlah sulit. Naskah primer yang memuat tentang
sejarah Cirebon secara utuh belum ditemukan. Begitu pula melakukan penggalian
arkeologis merupakan hal yang mustahil. Karena situs-situs yang terdapat di
wilayah Cirebon merupaka situs yang dikeramatkan oleh masyarakat sekitar dan
lingkungan keraton.
Pada tahun 1362 Saka atau 1440 M tinggallah Ki Danusela,
adik Ki Danuwarsih, bersama istrinya Nyi Arum Sari beserta anak mereka Ratna Riris/ Nyi Kencana
Larang di Tegal Alang-alang. Di tempat itu hanya berpenduduk 5 orang. Mereka
adalah orang-orang yang terdesak dari Carbon Girang[1].Kemudian datanglah Pangeran Walangsungsang (Mbah Kuwu
Cirebon II), Nyi Indang Geulis, dan Nyi Mas Ratu Rarasantang[2]
di Kebon Pesisir. Pangeran Walangsungsang
dan Nyi Ratu Mas Rara Santang adalah putra-putri Prabu Siliwangi[3],
seorang raja besar yang berkuasa di Pakuan Pajajaran, hasil perkawinan dengan
Nyi Mas Subanglarang atau Nyi Mas Subang Karancang, putri Ki Gede Tapa (Ki
Jumajan Jati), seorang Syahbandar pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sebelum
ibundanya wafat, ia berpesan kepada kedua putra-putrinya agar menuntut ilmu di
Perguruan Gunung Jati pada Syekh Idhofi Mahdi atau Syekh Nurjati atau Syekh
Datul Kahfi[4].
Ketika selesai menekuni ilmu
dari Syekh Nurjati kurang lebih 3 tahun lamanya, mereka mengikuti petunjuk
gurunya untuk membuka pemukiman baru di daerah yang masih liar dan belum
berpenghuni. Mereka membabat hutan Kebon
Pesisir yang waktu itu masih berupa alang-alang pada 14 paro gelap bulan Cetra
1367 Saka (8 April 1445 M, yang dijadikan hari jadi Kota Cirebon). Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Nyi Indang
Geulis adalah pendiri Cirebon dan perintis status kenegaraan. Dalam karya-karya Babad Cirebon
diceritakan bahwa Syekh Nurjati memberi nama Pangeran Walangsungsang dengan
sebutan Ki Somadullah.
Kebon Pesisir kemudian berkembang
menjadi sebuah padukuhan. Waktu itu, orang yang tinggal di Kebon Pesisir,
sekarang Lemah Wungkuk, hanya lima puluh orang. Mata pencaharian meraka saat
itu adalah menangkap udang kecil dan ikan yang terletak di sebelah timur rumah
mereka di tepi pantai. Udang kecil (rebon) tersebut kemudian dibuat terasi (belacan) dan petis. Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang
disunting oleh Atja disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “Sarumban”, lalu mengalami proses perubahan pengucapan menjadi
“Caruban”. Kata ini mengalami proses
perubahan pengucapan menjadi “Carbon”,
berubah lagi menjadi kata “Cerbon”,
dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”.
Para wali menyebut Carbon sebagai “pusat jagat” atau
puser bumi, negeri yang dianggap
terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Menurut Nurdin M.
Noer[5],
puser bumi merupakan kata yang diadopsi dari Tiongkok, yang artinya pusat dunia
(pusat peradaban dan kebudayaan dunia). Masyarakat setempat
menyebutnya “Grage”
(asal kata dari “Garage” yang artinya
“Negara
Gede”). Menurut
P. S. Sulendraningrat, sebagai penanggung jawab sejarah Cirebon dari kalangan
keraton, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang
dilakukan oleh Ki Cakrabumi (Pangeran Cakrabuana). Proses pergantian nama dari
Caruban sampai Grage, berjalan terus hingga sekarang menjadi “Cirebon” yang berasal
dari kata “ci” artinya air dan “rebon” artinya udang kecil sebagai bahan
pembuat terasi[6].
Pangeran Walangsungsang
berhasil menarik para pendatang. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak
didatangi oleh orang-orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah
daerah ini “Caruban” artinya campuran. Di tempat ini berbagai bangsa, etnik,
agama, dan bahasa bercampur. Pada tahun 1369 Saka atau 1447 Masehi, jumlah
seluruh penduduk yang tinggal di Caruban adalah 346 orang. Laki-laki sebanyak
122 orang dan perempuan sebanyak 164 orang.
Dengan rincian orang Sunda sebanyak 196 orang, orang Jawa sebanyak 106 orang, orang Swarnabhumi (Sumatera) sebanyak
16 orang, orang Hujung Mendini
(Semenanjung Malaka) sebanyak 4 orang, orang India sebanyak 2 orang, orang
Parsi sebanyak 2 orang, orang Syam (Syiria) sebanyak 3 orang, orang Arab
sebanyak 11 orang, dan orang Cina sebanyak 6 orang. Mereka patuh kepada
peraturan di Caruban pada waktu itu[7]. Selanjutnya mereka mendirikan Masjid Jalagrahan/ Masjid Pejlagrahan
yang terletak di tepi pantai. Sekarang Masjid tersebut terletak di luar tembok
Keraton Kasepuhan bagian belakang.Syekh Nurjati/ Syekh Datuk Kahfi menganjurkan supaya Pangeran
Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Pangeran Walangsungsang
mematuhinya. Namun Nyi Indang Geulis tidak turut serta karena sedang hamil
besar. Pangeran Walangsungsang berangkat
menunaikan ibadah haji bersama adiknya. Di Mekah, Nyi Mas Ratu Rara Santang
bertemu dan menikah dengan salah seorang penguasa Mesir, raja di wilayah Bani Israil di Filistin (Filastin)[8]
dan melahirkan seorang wali besar pada tahun 1370 Saka atau 1448 M, Syarif
Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, sang penyiar Islam di Jawa. Sepulang dari tanah suci Pangeran Walangsungsang berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman[9].
Setelah menikahkan adiknya,
Pangeran Walangsungsang pulang ke tanah Jawa, dengan terlebih dahulu singgah di
Campa. Kemudian beliau menikah dengan
Nyi Ratna Riris atau Nyi Kencana Larang, putri Ki Danusela dan Nyi Arum Sari.
Dari Perkawinan tersebut lahirlah Pangeran Carbon, yang kelak menjadi Panglima
Perang Cirebon.Ketika Ki Pangalangalang meninggal, Pangeran Walangsungsang terpilih sebagai Kuwu
Cirebon menggantikan Ki Pangalangalang. Lalu, ia mendapat gelar Cakrabuana yang
memerintah 457 orang penduduk desa Cirebon. Ketika Pangeran Walangsungsang
Cakrabuana menjadi kuwu Cirebon yang kedua, kakek beliau, Ki Gedeng Jumajan
Jati, Ratu Singapura, meninggal dunia. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana tidak
menggantikan kedudukannya, namun beliau mewarisi seluruh kekayaannya.Kekayaan tersebut kemudian
dibawa ke Cirebon dan Pangeran
Walangsungsang Cakrabuana mendirikan Keraton Pakungwati[10], sesuai dengan nama putrinya Nyi Mas
Pakungwati, dari pernikahannya dengan Nyi Indang Geulis. Pakuwuan
Caruban kemudian menjadi Nagari Caruban Larang. Prabu
Siliwangi, Maharaja Kerajaan Pajajaran, ayah Pangeran Walangsungsang
Cakrabuana, sangat senang. Ia kemudian mengutus dutanya, Tumenggung Jagabaya
dengan membawa lambang kerajaan dan memberikan kekuasaan wilayah kepada
Pangeran Walangsungsang. Pada tahun 1469 Masehi, Pangeran Cakrabuana diberi
jabatan sebagai Tumenggung Naradipa yang setaraf dengan Prabu Anom/Raja Muda
dan mendapat gelar Sri Mangana dari ayahnya, Prabu Siliwangi[11].
[1] Carbon Girang atau Cirebon Girang adalah sebuah
daerah di Kabupaten Cirebon, sekarang menjadi sebuah kecamatan. Daerah ini merupakan
daerah lama yang sudah berpenghuni sejak zaman prasejarah, dengan ditemukannya
sebuah patung/ arca gajah. Pada abad ke-5 di daerah ini telah berdiri sebuah
kerajaan Hindu kecil yang bernama Indraprahasta.
[2] Pangeran Walangsungsang lahir pada
tahun 1423 M, setahun setelah pernikahan kedua orang tuanya. Sedangkan Nyi Mas
Ratu Rarasantang lahir 3 tahun kemudian yaitu pada tahun 1426 M. Mereka meninggalkan keraton karena tidak
kerasan tinggal di sana, tempat ayahandanya kembali memeluk agama Budha setelah ibundanya wafat pada tahun 1441
M.
[3] Prabu Siliwangi yang dimaksud di sini adalah
putra dari Prabu Anggalarang (Surawisesa) yang berasal dari Galuh. Prabu
SIliwangi menjadi raja di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482 M dengan gelar
penobatan Sang Prabu Dewatawisesa. Keratonnya disebut Sang Bima. Sedangkan
dalam Carita Parahiyangan, nama resmi
Keraton Pakuan Pajajaran adalah Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati (Atja
1968 ; 73). Sedangkan Prabu Siliwangi adalah gelar menurut Carita Purwaka
Caruban Nagari.
[4] Badan Komunikasi Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2005, Asal Usul Desa Bagian Kedua; Pemerintah
Kabupaten Cirebon, hal. 157.
[6] Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa
dari dahulu sampai sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang
berkualitas baik, dan ada juga yang menyatakan bahwa “grage” berasal dari kata
“glagi,” yaitu udang kering untuk membuat terasi.
[9] Nina H. Lubis dkk., 2000, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, Bandung:
Alqaprint Jatinangor, hal. 29.
Langganan:
Postingan (Atom)