Selasa, 05 Februari 2013
Sunan Gunungjati dan Perjalanannya
Syarif Hidayatullah, keponakan
Pangeran Cakrabuana yang dibesarkan di negara ayahnya, Mesir, ketika berusia
dua puluh tahun, pergi berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri di Mekah selama dua tahun dan belajar kepada Syekh Ata’ullahi
Sadzili yang bermazhab Syafii. Kemudian Syarif Hidayat belajar ilmu tasawuf di Bagdad selama dua tahun. Setelah itu, ia kembali ke negara ayahnya dan diminta untuk
menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk pergi
ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama pamannya (kakak dari ibu). Posisi Raja Mesir digantikan oleh adiknya,
Syarif Nurullah.
Syarif Hidayat singgah di Gujarat selama tiga bulan.
Kemudian melanjutkan perjalanannya ke Paseh dan sempat tinggal untuk berguru
agama Islam kepada Sayid Ishak selama dua tahun. Syarif Hidayat kemudian
meneruskan perjalanannya dan sempat singgah di Banten. Di Banten sudah banyak
yang memeluk agama Islam, yang telah disebarkan oleh Sunan Ampel. Oleh sebab
itu, ia terlebih dahulu pergi ke Ampel untuk bersilaturahim dengan para wali di
sana. Syarif Hidayat akhirnya sampai di Ampel. Di sana sedang diadakan
pertemuan para wali. Syarif Hidayat kemudian diberi tugas untuk menyebarkan agama
Islam di Cirebon, yang saat itu di sana terdapat uwaknya Haji Abdullah Iman.
Dalam perjalanan, Syarif Hidayat berhasil mengislamkan
Dipati Keling dan pengikutnya sebanyak sembilan puluh delapan orang. Akhirnya Syarif
Hidayatullah bersama rombongan tiba di
Amparan Jati pada tahun 1470 M. Ia bertemu dengan uwaknya Pangeran Walangsungsang
Cakrabuana. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana sangat senang. Syarif Hidayatullah memperoleh nasihat-nasihat
dari Syekh Nurjati/Syekh Datul Kahfi. Setelah Syekh Datul Kahfi meninggal
dunia, Syarif Hidayatullah menggantikan posisi Syekh Datul Kahfi sebagai ulama
yang mengajarkan agama Islam dengan gelar Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati[1]. Syarif Hidayat menyebarkan Islam, berdakwah di Gunung Sembung dan
atas bantuan uwaknya, mendirikan pondok pesantren di Gunung Sembung. Pangeran
Walangsungsang Cakrabuana kemudian meminta Syarif Hidayatullah untuk tinggal
menetap dan menggantikan kepemimpinannya, menjadi raja dan pemimpin Agama Islam
di Pulau Jawa. Tetapi Syarif Hidayatullah belum bersedia karena masih ingin
berkelana. Pangeran Walangsungsang tidak berkeberatan.
Syarif Hidayatullah pun pergi mengembara ke arah
barat dan bertemu dengan Ki Gedeng Babadan. Kemudian menikah untuk pertama kali
dengan Nyi Mas Babadan atau Nyi Mas Retna Wati, putri Ki Gedeng Babadan pada
tahun 1471 M. Sebelum menikah, Syarifah Mudaim/ Nyi Mas Ratu Rarasantang,
ibunda Sunan Gunung Jati, memberikan nasihat pada putranya yang akan memasuki
gerbang pernikahan. Sang ibunda bertutur dengan harus dan lembut, menasehati
putranya.
Puser Bumi Sebuah Daya Tarik Cirebon
Cirebon menyimpan rahasia besar, sehingga Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga kota
Cirebon, memberikan brand “Cirebon, the Gate of Secret”. Khasanah budaya, sejarah, serta nilai-nilai
luhur Cirebon begitu banyaknya, sehingga semakin kita mendalami Cirebon, maka
kita akan semakin kagum dan semakin merasa kita hanya tahu sedikit dari lautan ilmu yang dimiliki oleh Cirebon baik di masa
lalu maupun kini. Banyak sejarah yang ditutupi oleh
masyarakat Cirebon, terutama di kalangan keraton. Mereka biasa menyebutnya
dengan “sejarah peteng”. Maksudnya
sejarah yang dianggap tabu, sengaja ditutupi karena rasa takut terhadap penguasa
ataupun dengan tujuan agar tidak menimbulkan konflik dan perpecahan antarsaudara.
Mengungkap sejarah Cirebon sangatlah sulit. Naskah primer yang memuat tentang
sejarah Cirebon secara utuh belum ditemukan. Begitu pula melakukan penggalian
arkeologis merupakan hal yang mustahil. Karena situs-situs yang terdapat di
wilayah Cirebon merupaka situs yang dikeramatkan oleh masyarakat sekitar dan
lingkungan keraton.
Pada tahun 1362 Saka atau 1440 M tinggallah Ki Danusela,
adik Ki Danuwarsih, bersama istrinya Nyi Arum Sari beserta anak mereka Ratna Riris/ Nyi Kencana
Larang di Tegal Alang-alang. Di tempat itu hanya berpenduduk 5 orang. Mereka
adalah orang-orang yang terdesak dari Carbon Girang[1].Kemudian datanglah Pangeran Walangsungsang (Mbah Kuwu
Cirebon II), Nyi Indang Geulis, dan Nyi Mas Ratu Rarasantang[2]
di Kebon Pesisir. Pangeran Walangsungsang
dan Nyi Ratu Mas Rara Santang adalah putra-putri Prabu Siliwangi[3],
seorang raja besar yang berkuasa di Pakuan Pajajaran, hasil perkawinan dengan
Nyi Mas Subanglarang atau Nyi Mas Subang Karancang, putri Ki Gede Tapa (Ki
Jumajan Jati), seorang Syahbandar pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sebelum
ibundanya wafat, ia berpesan kepada kedua putra-putrinya agar menuntut ilmu di
Perguruan Gunung Jati pada Syekh Idhofi Mahdi atau Syekh Nurjati atau Syekh
Datul Kahfi[4].
Ketika selesai menekuni ilmu
dari Syekh Nurjati kurang lebih 3 tahun lamanya, mereka mengikuti petunjuk
gurunya untuk membuka pemukiman baru di daerah yang masih liar dan belum
berpenghuni. Mereka membabat hutan Kebon
Pesisir yang waktu itu masih berupa alang-alang pada 14 paro gelap bulan Cetra
1367 Saka (8 April 1445 M, yang dijadikan hari jadi Kota Cirebon). Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Nyi Indang
Geulis adalah pendiri Cirebon dan perintis status kenegaraan. Dalam karya-karya Babad Cirebon
diceritakan bahwa Syekh Nurjati memberi nama Pangeran Walangsungsang dengan
sebutan Ki Somadullah.
Kebon Pesisir kemudian berkembang
menjadi sebuah padukuhan. Waktu itu, orang yang tinggal di Kebon Pesisir,
sekarang Lemah Wungkuk, hanya lima puluh orang. Mata pencaharian meraka saat
itu adalah menangkap udang kecil dan ikan yang terletak di sebelah timur rumah
mereka di tepi pantai. Udang kecil (rebon) tersebut kemudian dibuat terasi (belacan) dan petis. Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang
disunting oleh Atja disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “Sarumban”, lalu mengalami proses perubahan pengucapan menjadi
“Caruban”. Kata ini mengalami proses
perubahan pengucapan menjadi “Carbon”,
berubah lagi menjadi kata “Cerbon”,
dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”.
Para wali menyebut Carbon sebagai “pusat jagat” atau
puser bumi, negeri yang dianggap
terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Menurut Nurdin M.
Noer[5],
puser bumi merupakan kata yang diadopsi dari Tiongkok, yang artinya pusat dunia
(pusat peradaban dan kebudayaan dunia). Masyarakat setempat
menyebutnya “Grage”
(asal kata dari “Garage” yang artinya
“Negara
Gede”). Menurut
P. S. Sulendraningrat, sebagai penanggung jawab sejarah Cirebon dari kalangan
keraton, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang
dilakukan oleh Ki Cakrabumi (Pangeran Cakrabuana). Proses pergantian nama dari
Caruban sampai Grage, berjalan terus hingga sekarang menjadi “Cirebon” yang berasal
dari kata “ci” artinya air dan “rebon” artinya udang kecil sebagai bahan
pembuat terasi[6].
Pangeran Walangsungsang
berhasil menarik para pendatang. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak
didatangi oleh orang-orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah
daerah ini “Caruban” artinya campuran. Di tempat ini berbagai bangsa, etnik,
agama, dan bahasa bercampur. Pada tahun 1369 Saka atau 1447 Masehi, jumlah
seluruh penduduk yang tinggal di Caruban adalah 346 orang. Laki-laki sebanyak
122 orang dan perempuan sebanyak 164 orang.
Dengan rincian orang Sunda sebanyak 196 orang, orang Jawa sebanyak 106 orang, orang Swarnabhumi (Sumatera) sebanyak
16 orang, orang Hujung Mendini
(Semenanjung Malaka) sebanyak 4 orang, orang India sebanyak 2 orang, orang
Parsi sebanyak 2 orang, orang Syam (Syiria) sebanyak 3 orang, orang Arab
sebanyak 11 orang, dan orang Cina sebanyak 6 orang. Mereka patuh kepada
peraturan di Caruban pada waktu itu[7]. Selanjutnya mereka mendirikan Masjid Jalagrahan/ Masjid Pejlagrahan
yang terletak di tepi pantai. Sekarang Masjid tersebut terletak di luar tembok
Keraton Kasepuhan bagian belakang.Syekh Nurjati/ Syekh Datuk Kahfi menganjurkan supaya Pangeran
Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji ke Mekah. Pangeran Walangsungsang
mematuhinya. Namun Nyi Indang Geulis tidak turut serta karena sedang hamil
besar. Pangeran Walangsungsang berangkat
menunaikan ibadah haji bersama adiknya. Di Mekah, Nyi Mas Ratu Rara Santang
bertemu dan menikah dengan salah seorang penguasa Mesir, raja di wilayah Bani Israil di Filistin (Filastin)[8]
dan melahirkan seorang wali besar pada tahun 1370 Saka atau 1448 M, Syarif
Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, sang penyiar Islam di Jawa. Sepulang dari tanah suci Pangeran Walangsungsang berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman[9].
Setelah menikahkan adiknya,
Pangeran Walangsungsang pulang ke tanah Jawa, dengan terlebih dahulu singgah di
Campa. Kemudian beliau menikah dengan
Nyi Ratna Riris atau Nyi Kencana Larang, putri Ki Danusela dan Nyi Arum Sari.
Dari Perkawinan tersebut lahirlah Pangeran Carbon, yang kelak menjadi Panglima
Perang Cirebon.Ketika Ki Pangalangalang meninggal, Pangeran Walangsungsang terpilih sebagai Kuwu
Cirebon menggantikan Ki Pangalangalang. Lalu, ia mendapat gelar Cakrabuana yang
memerintah 457 orang penduduk desa Cirebon. Ketika Pangeran Walangsungsang
Cakrabuana menjadi kuwu Cirebon yang kedua, kakek beliau, Ki Gedeng Jumajan
Jati, Ratu Singapura, meninggal dunia. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana tidak
menggantikan kedudukannya, namun beliau mewarisi seluruh kekayaannya.Kekayaan tersebut kemudian
dibawa ke Cirebon dan Pangeran
Walangsungsang Cakrabuana mendirikan Keraton Pakungwati[10], sesuai dengan nama putrinya Nyi Mas
Pakungwati, dari pernikahannya dengan Nyi Indang Geulis. Pakuwuan
Caruban kemudian menjadi Nagari Caruban Larang. Prabu
Siliwangi, Maharaja Kerajaan Pajajaran, ayah Pangeran Walangsungsang
Cakrabuana, sangat senang. Ia kemudian mengutus dutanya, Tumenggung Jagabaya
dengan membawa lambang kerajaan dan memberikan kekuasaan wilayah kepada
Pangeran Walangsungsang. Pada tahun 1469 Masehi, Pangeran Cakrabuana diberi
jabatan sebagai Tumenggung Naradipa yang setaraf dengan Prabu Anom/Raja Muda
dan mendapat gelar Sri Mangana dari ayahnya, Prabu Siliwangi[11].
[1] Carbon Girang atau Cirebon Girang adalah sebuah
daerah di Kabupaten Cirebon, sekarang menjadi sebuah kecamatan. Daerah ini merupakan
daerah lama yang sudah berpenghuni sejak zaman prasejarah, dengan ditemukannya
sebuah patung/ arca gajah. Pada abad ke-5 di daerah ini telah berdiri sebuah
kerajaan Hindu kecil yang bernama Indraprahasta.
[2] Pangeran Walangsungsang lahir pada
tahun 1423 M, setahun setelah pernikahan kedua orang tuanya. Sedangkan Nyi Mas
Ratu Rarasantang lahir 3 tahun kemudian yaitu pada tahun 1426 M. Mereka meninggalkan keraton karena tidak
kerasan tinggal di sana, tempat ayahandanya kembali memeluk agama Budha setelah ibundanya wafat pada tahun 1441
M.
[3] Prabu Siliwangi yang dimaksud di sini adalah
putra dari Prabu Anggalarang (Surawisesa) yang berasal dari Galuh. Prabu
SIliwangi menjadi raja di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482 M dengan gelar
penobatan Sang Prabu Dewatawisesa. Keratonnya disebut Sang Bima. Sedangkan
dalam Carita Parahiyangan, nama resmi
Keraton Pakuan Pajajaran adalah Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati (Atja
1968 ; 73). Sedangkan Prabu Siliwangi adalah gelar menurut Carita Purwaka
Caruban Nagari.
[4] Badan Komunikasi Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2005, Asal Usul Desa Bagian Kedua; Pemerintah
Kabupaten Cirebon, hal. 157.
[6] Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa
dari dahulu sampai sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang
berkualitas baik, dan ada juga yang menyatakan bahwa “grage” berasal dari kata
“glagi,” yaitu udang kering untuk membuat terasi.
[9] Nina H. Lubis dkk., 2000, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, Bandung:
Alqaprint Jatinangor, hal. 29.
Senin, 28 Januari 2013
Pangeran Walang Sungsang Sang Pendiri Caruban
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana
dengan gelar raja muda. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana merintis Caruban
Nagari dari jenjang yang paling bawah sampai menjadi raja muda. Perintisannya
diantaranya membuat pemukiman di Tegal Alang Alang, hingga akhirnya
disebut Caruban yang artinya campuran. Membuat lahan pertanian di daerah
Panjunan, membuat industry produk laut diantaranya terasi, petis, ikan kering
dan garam. Mendirikan masjid dan Keraton Pakungwati dengan pembiayaan darai
warisan kakeknya Ki Ageng Tapa, serta membuat pasukan keamanan lengkap dengan
angkatan bersenjatanya. Pada saat
Pangeran Walangsungsangmenjadi pemimpin di Caruban, Ayahnya, Raja Sunda
merestui dengan mengirim Tumenggung Jagabaya membawa panji-panji kerajaan serta
memberikan wilayah kekuasaan kepada Pangeran Walngsungsang Cakrabuana.
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, bukan semata-mata
untuk membentuk suatu pemerintahan yang berkuasa, namun mempersiapkan
perkembangan dakwah Islamiyah yang menjadi cita-cita saat itu, yang
kelanjutannya akan diteruskan oleh anak dari adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang,
yaitu Syarief Hidayat. Pengetahuan tentang akan datang seorang pemimpin dan
pemuka agama islam, yang tidak lain adlah keponakannya sendiri, telah diketahui
berdasarkan nasehat dari guru-guru keduanya diantaranya adalah Syekh Quro,
Syekh Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi.
Pangeran
Walangsungsang bertemu Syekh Quro, di dalam pertemuan tersebut. Syekh Quro
mengatakan kepada Pangeran Walangsungsang bahwa kelak adiknya akan berjodoh
dengan raja Mesir dan akan dianugerahi anak yang bernama Maulana Jati, yang kelak
ditakdirkan menjadi penguasa Cirebon. Seperti yang tertera dalam Naskah Carub
Kanda Carang Seket.
Pada
kesempatan yang berbeda, pada saat Pangeran Walangsungsang hendak berguru pada
Syekh Maulana Magribi[1],
Syekh Maulana Magribi menolak untuk
menjadi guru mereka. Ia menyarankan Pangeran Walangsungsang untuk berguru pada
Syekh Datul Kahfi/ Syekh Maulana Idhofi. Pada pertemuan tersebut Syekh Maulana
Magribi mengatakan bahwa pada saat Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu
Rarasantang menunaikan ibadah haji, maka beliau akan dinikahi oleh Sultan Mesir
dan menikah disana, kemudian dari pernikahan tersebut akan lahir pemimpin para
wali di Pulau Jawa. Pertemuan Pangeran
Walangsungsang dengan Syekh Maulana Magribi tersebut terekam dalam Carub Kanda Carang Seket pupuh Asmarandana.
Pangeran
Cakrabuana dan Nyi Mas Ratu Rarasantang kemudian menuruti saran dari Syekh
Maulana Magribi berguru pada Syekh Datul Kahfi pada tahun 1442 M. Nyekh Datul
Kahfi beserta istrinya sangat senang akan kedatangan keduanya. Mereka
diperkenankan tinggal di Gunung Jati dan melarang keduanya kembali ke Negara
Sunda. Syekh Datul Kahfi mengatakan pada Nyi Mas Ratu Rarasantang bahwa ia
kelak akan bersuamikan Sultan Bani Israil, dan darinya akan lahir seorang anak
yang akan meng-Islamkan tanah Sunda, mengalahkan agama Sunda.
Nyi
Mas Ratu Rarasantang dan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana memperoleh banyak nasehat
dan ilmu dari Syekh Datul Kahfi. Setelah
tiga tahun berguru, mereka kemudian diperintahkan oleh Syekh Datul Kahfi untuk
membuka Tegal Alang-Alang di Lemahwungkuk yang merupakan cikal bakal kota
Cirebon. Pada tanggal 14 bagian terang bulan Carita tahun 1367 Saka atau Kamis
tanggal 8 April tahun 1445 Masehi, bertepatan dengan masuknya penanggalan 1 Muharam
848 Hijriyah, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah dibantu 52 orang
penduduk, membuka perkampungan baru di hutan pantai kebon pesisir.[2]
Lama kelamaan daerah Tegal Alang-Alang berkembang menjadi pedukuhan yang maju.
Tak lama kemudian mereka diperintahkan untuk menunaikan Rukun Islam
kelima. Setelah berhaji Nyi Mas Ratu
Rarasantang bernama Hajjah Syarifah Mudaim, sedangkan Pangeran Walangsungsang
Cakrabuana menjadi Haji Abdullah Iman.
Pada
saat itulah Nyi Mas Ratu Rarasantang bertemu dengan Maulana Sultan Mahmud/ Syarif Abdullah/ Sultan Amiril Mukminin/ Sultan Khut,
Anak Nurul Alim dari bangsa Hasyim (Bani Ismail), yang memerintah kota
Ismailiyah, Palestina. Maulana Sultan
Mahmud, yang baru saja ditinggal mati oleh istrinya bermaksud menikahi Nyi Mas
Ratu Rarasantang. Syarif Abdullah pergi ke arah timur dari istananya dengan
mengajak Nyi Mas Ratu Rarasantang ke bukit Tursinah dengan diikuti Pangeran
Cakrabuana dan patih Jalalluddin. Disana ia melamar Nyi Mas Rarasantang. Perjanjian
pra nikah antara keduanya di Bukit Tursina[3]
terdapat dalalam Pupuh Kasmaran Naskah Mertasinga, Carang Seket, Serat Kawedar
dan Sejarah Lampah ing para Wali Kabeh. Isi dari perjanjian
tersebut adalah bahwa Nyi Mas Ratu Rarasantang bersedia dinikahi oleh Syarif Abdullah dengan syarat bahwa bila ia
melahirkan anak laki-laki, anak tersebut diperbolehkan untuk menjadi pemimpin
agama di Jawa untuk mengislamkan saudara-saudaranya di Padjajaran.[4]
Perjanjian tersebut dihadiri oleh Pangeran Walangsungsang Cakrabuana selaku
wali dari Nyi Mas Rarasantang. Syarif Abdullah menyepakati perjanjian tersebut.
Pangeran
Walangsungsang Cakrabuana pun menyetujui perjanjian tersebut. Karena hal
tersebut pun telah diramalkan pada saat pertemuan mereka dengan Syekh Quro, Syekh Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi.
Yang secara tidak langsung ramalan tersebut merupakan nasehat dan sekaligus
merupakan amanat dari para pemuka agama di sana saat itu.
Akhirnya
Nyi Mas Ratu Rarasantang menikah dengan Maulana Sultan Mahmud. Menikahnya Syarifah
Mudaim dan Syarif Abdullah bukan merupakan kebetulan belaka.[5]
Syarif Abdullah adalah adik ipar dari
Syekh Datul Kahfi. Antara Syekh Datul
Kahfi, Syekh Quro dan Syekh Maulana Magribi merupakan utusan utusan dari Persia[6]
yang diperintahkan baik secara langsung maupun tidak langsung[7]
untuk menyebarkan Agama Islam diluar
jazirah Arab. Penyebaran agama Islam keluar jazirah Arab sudah dilakukan
beberapa abad sebelumnya, tetapi belum sanggunp mengislamisasi masal penduduk
di luar jazirah Arab. Bahkan ratusan orang mati sahid dalam perjuan dakwah
tersebut. Sampai akhirnya abad ke-13 penyebaran Islam di jazirah Arab mulai
mengalami penurunan, sehingga dibuatlah strategi dakwah untuk tetap menyebarkan
Islam dengan cara mengirimkan para pemuka agama ke berbagai daerah. Selain berdakwah, para penyebar agama Islam
tersebut menikah pula dengan penduduk lokal. Pernikahan Nyi Mas Ratu
Rarasantang merupakan sebuah skenario besar untuk melakukan Islamisasi masal
melalui keturunan mereka di kemudian hari. Dengan cara mensugesti Pangeran
Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang, sehingga mereka mau mengikuti
petunjuk para guru mereka. Para pendakwah senior tersebut telah mengkaji dan
mengambil pelajaran dari pengamalan mereka sebelumnya, dimana perkawinan antar
mualaf Nyi Mas Subang Karancang, ibunda Nyi Mas Ratu Rarasantang yang berguru
pada Syekh Quro, dengan Pemanah Rasa,
calon Raja Sunda, gagal, tidak berhasil mengislamkan tanah Sunda, sehingga
mereka membuat strategi dakwah baru dengan cara kaderisasi potensi calon-calon
pendakwah baru. Salah satu caranya adalah mengawinkan anak-anak perempuan
keturunan raja-raja Jawa dengan keturunan raja-raja di Timur Tengah, yang
keturunan nabi, sehingga keturunannya yang akan menyebarkan agama Islam kelak
memiliki legitimasi.
Pada
tahun 1448 M,Syarifah Mudaim yang dalam
keadaan hamil tua menunaikan ibadah haji kembali. Di Kota Mekah ia melahirkan
Syarif Hidayatullah di Kota Mekah. Dua tahun kemudian lahirlah Syarif Nurullah,
adik Syarif Hidayat.
Syarif Hidayat, keponakan Pangeran Cakrabuana dibesarkan
di negara ayahnya, Mesir. Syarif Hidayat tumbuh
menjadi pemuda yang cerdas. Syarif Hidayatullah sangat taat menjalankan
syariat Islam. Ia seorang muslim yang takwa. Syarif Hidayat gemar mempelajari
ajaran Agama Islam. Ia bercita-cita mengajarkan dan menyebarkan agama
Islam.Suatu hari ia membaca dan mempelajari sebuah kitab. Dari kitab tersebut
ia menyatakan keinginannya kkepada ibundanya, Syarifah Mudaim, berguru kepada
Nabi Muhammad SAW. Syariffah Mudaim mengatakan bahwa Rasulullah telah meninggal
dunia. Dengan ilmu yang dipelajari oleh Syarif Hidayat secara diam-diam, melalui silaturruhiyah ia bertemu dengan Nabi
Khidir dan Rasulullah, hal tersebut merupakan perjalanan spiritual Syarif
Hidayat yang ditulis pada Naskah Mertasinga dan Naskah Kuningan. Dalam naskah
tersebut, Syarif Hidayat hendak berguru
kepada Rasulullah. Namun Rasullullah menyuruh Syarif Hidayat mencari guru
dzohir.
Sehingga
ketika berusia dua puluh tahun, pergi ke
Mekah, berguru kepada Syekh Tajuddin
al-Kubri/ Najmuddin. Naskah Kuningan menjelaskan tentang Syarif
Hidayat yang berguru kepada Syekh Tajuddin. Kepada Syekh Tajuddin, Syarif
Hidayat belajar adab para guru, dzikir, silsilah, shugul, Tarekat Isqiyah, dan adab Syatori[8].
Ia juga belajar tentang ilmu syariat, ilmu tarekat, ilmu hakekat dan ilmu
makrifat. Pada saat berguru pada Syekh Tajuddin, Syarif Hidayat diberi nama
Madkurullah.
Setelah
dua tahun lamannya, Syarif Hidayat kemudian menuntut ilmu tawasul rasul pada Syekh Athaullah Sadili, yang bermahzab Syafi’i di Bagdad. Darinya Syarif
Hidayat juga belajar istilah Sirr (Sirrullah), Tarekat Syaziliyah, Tarekat Syatariyah, Isyki Naqisbandiyah, dzikir
jiarah, bermeditasi, riyadhah (latihan tarekat/sufi) di
tempat-tempat suci. Oleh Syekh Athaullah,
Syarif idayat diberi nama Arematullah.
Setelah itu ia kembali ke negara ayahnya, dan diminta
untuk menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk
pergi ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama pamannya,
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana. Posisi Raja Mesir
diserahkan dari Patih Ongkhajuntra, paman Syarif Hidayat kepada oleh adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif
Hidayat memiliki banyak nama yaitu Sayyid Kamil dan Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Sultanil
Mahmud al Kibti[9]. Kemudian Sayid Kamil pergi ke pulau Jawa, di
perjalanananya ia singgah di Gujarat,
tingal disitu selama tiga bulan, selanjutnya ia tingal di Paseh (Pasei). Di Paseh,
Syarif Hidayat tinggal di pondok saudaranya selama dua tahun, yaitu Sayid Ishaq
[10],
bapak Raden Paku/ Sunan Giri, yang menjadi guru agama Islam di Paseh di
Sumatra.
Kemudian
Syarif Hidayat pergi ke ke pulau Jawa, singgah di negeri Banten. Disini banyak
penduduk telah memeluk agama Rasul, karena Sayyid Rahmat (Ngampel Gading) telah
menyebarkan Agama Islam di sini, yang di gelari Susuhunan Ampel, juga salah
seorang saudaraanya.
Berdasarkan
Naskah Kuningan, Syarif Hidayat kemudian berguru pada Syekh Sidiq di
Surandil jati wisik (ajaran sejati), ba’iyat
serta muhal maha, talkin dalam dzikir sirr, tarekat Muhammadiyah, Anapsiah,
dan Jaujiyah Makomat Pitu[11],
serta melakukan kanaat dan uzlah.
Syarif
Hidayat kemudian berguru kepada Syekh Mad Kurullah (Syekh Quro) di Gunung
Gundul. Syekh Quro adalah penganut mahdzab Hanafi. Pada saat berguru pada Syekh
Quro, Syarif Hidayat banyak mempelajari dan mengalami perjalanan spiritual.
Kemudian ia diperintahkan berguru pada Syekh Bahrul al Amien, yang tinggal di
sebelah utara Kudus. Syarif hidayat berguru mengenai sifat-sifat jati (baca :
sempurna), rasa jati (sejatine rasa),
khofiyah, dukiyah, sarariyah (rasa
yang sejati) ranaban. Belajar mengenai Sirrullah, ya hati ya badan, ya badan,
ya roh, ya badan ya nyawa, nyawa adalah wujud tunggalnya Dzatullah (ibarat
punglu). Rasa yang sejati, rasa goib, yang tidak ada antara dengan yang agung,
ya badan ya rasa, ibarat jambe/ pinang yang menyatu antara kulit dengan
buahnya. Kemudian Datul Bahrul kemudian memberi nama Syarif Hidayat dengan
Wujudullah dan menyarankan Syarif
Hidayat menambah pengetahuan tentang pada Sunan Ampel Denta. Maka
berangkatlah Syarif Hidayat pergi ke
Ngampel dengan naik perahu milik orang Jawa Timur. Perjalanan Syarif Hidatyat
berguru pada beberapa orang tertulis dalam Kitab Negara Kertabhumi.
Setibanya
Syarif Hidayat/ Wujudullah di Ampel Denta lalu pergi menghadap dan menyampaikan
hormatnya kepada yang mulia Sunan Ampel. Maka Wujudullah pun kemudian mengabdi
di Ampel Denta dan dia diangkat saudara oleh anak-anaknya. Di sana sudah
berguru pula murid yang lain diantaranya , Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan
KaliJaga. Wujudullah sangat disayangi oleh Sunan Ampel karena berbagai ilmu
yang diajarkan oleh Sunan Ampel dapat dikuasai oleh Wujudullah.
Sementara
itu, para Wali semuanya (sedang) ada di situ, mereka masing-masing di beri tugas
mengajarkan agama Rasul kepada penduduk di daerah yang menganut agama Siwa-
Budha. Kemudian Syarif Hidayat meminta nasehat pada Sunan Ampel. Sunan Ampel
memberikan nasihat sebagai berikut :
“he putra, jandika iku mung aja ngebat-tebati, iku
laku ingkang ala.lawan putra ya den wani
ngajaga ing perkara agama ingkang sayakti. Lan kang sabar putera iku,
tawekal maring yang Widhi. Lan den esak maring sanak, saying ing kawla wargi,
lawan putera ya den inget enggal, saniki wis sedeng dadi. Molana ingkang luhung,
dadi guru ing Gunung Jati, ya kalawan uwa dika, mapan waris saking umi.
Cipamali wates sira dumugi ing ujung kulon. Inggih waris dika ikumugi jandika
wengkoni. Mung pacuan ngembat-embatan, sabab lepen cipamali wawtesing
balambangan iku dudu dika waris. Poma-poma ya den emut, lawan putera dika yen
wangsul ing amparan sampun margi ing darat, marginana sing lautan”.
(Anakku,
janganlah kamu bertindak berlebihan karena itu adalah sifat yang tercela, dan
beranilah menjaga kebenaran agama, bersabarlah, tawakkal kepada yang Maha esa,
dan jangan menyakiti sesame saudara. Dan ingatlah anakku bahwa sekarang sudah
cukup waktunya anakku untuk menjadi Maulana yang luhur dan menjadi Guru di
Gunungjati bersama uwakmu. Mewarisi pusaka ibumu, dari Cipamali hingga di Ujung
Kulon, itulah warisanmu. Hanya saja hati-hati bahwa batas dari sungan Cipamali
hingga Blambangan itu bukanlah warisanmu. Ingatlah nasihatku baik-baik, dan
anakku bilmana kamu pulang ke Amparan janganlah pulang melalui daratan,
pergilah melalui lautan). Demikianlah pesan sang guru.[12]
Sayid
kamil menerima tugas di negeri Carbon, yaitu di Gunung Sembung, karena disana
tempat tinggal uwanya, yaitu Haji Abdullah Iman yang menjadi Kuwu Carbon kedua.
Syarif
Hidayat menuruti nasehat Sunan Ampel.
Dalam
perjalanan ke Carbon, Syarif Hidayat bertemu dengan Dipati Keling dan berhasil
mengislamkannya berikut rombongan mereka sejumlah sembilan puluh delapan orang.
Selanjutnya Dipati Keling dan rombonganpa tahun, nya menjadi pengikut Syarif
Hidayat yang setia.
Setibanya
di Carbon Syarif Hidayat kemudian
membangun pondok dan menjadi guru agama Islam. Di Babadan Syarif Hidayat
mengislamkan Ki Gede Babadan dan menikah dengan putrinya Ki Gede Babadan. Umur
pernikahan mereka hanya berlangsung beberapa tahun karena Nyi Mas Babadan
meninggal dunia. Kemudian Syarif Hidayat menikah dengan Syaripah Bagdad, putri
Syekh Datul Kahfi.
[1] Syekh Maulana Magribi terkenal karena berhasil
memotong rambut Syekh Magelung Sakti, sehingga Syekh Magelung Sakti dengan
sukarela bersedia memeluk Agama Islam dan menjadi murid Syekh Maulana Magribi.
[2] Yoseph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat : (Yuganing Rajakawasa). Cetakan Pertama :
Bandung. CV. Geger Sunten. Hal 256
[3] Bukit Tursina merupakan bukit suci tempat Nabi
Musa as menerima Ten of Commandement (sepuluh perintah Tuhan).menjadi pemimpin
di tanah Jawa berlatar belakang
[4] Nyi Mas Ratu Rarasantang meminta salah seorang
putranya agar menjadi pemimpin di tanah Jawa berlatar belakang kesedihan
terhadap ayahnya, Prabu Siliwangi,
keluarganya dan rakyat Padjajaran yang memeluk agama Hindu pasca
ibundanya, Nyi Mas Ratu Subangkarancang meninggal dunia. Keinginan Nyi Mas Ratu
Rarasantang tersebut terdapat dalam Sinom
Serat Catur Kanda hal 10-11. Perjanjian tersebut belatar belakang pula dari
nasehat-nasehat yang diterima oleh Nyi Mas Ratu Rarasantang pada saat bertemu
Syekh Quro, Syekh Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi yang secara tidak
langsung mensugestinya.
[5] Ada kemungkinan pula mereka telah dijodohkan.
[6] Carita Purwaka Caruban Nagari, Parwa I Sargah
3, hal 166.
[7] Syekh Quro diperintahkan oleh Kerajaan Campa
yang saat itu telah memiliki hubungan dengan Persia (Iran)
[8] Syatoriyah berkembang di Mandu, India (sebelah
timur Gujarat) dengan pesat setelah dipopulerkan oleh Abdullah Syatori, yang
wafat di India pada 1236 M (633 H). Ia adalah keturunan Syekh Syihabuddin
Suhrawardi yang dikirim oleh gurunya, Syekh Muhammad Arif, ke India.
Berdasarkan informasi ini kemungkinan Abdullah Syatori lahir dan menjalani masa
pendidikannya di Persia.
[9] Pustaka Negara Kertabhumi
hal. 133
[10] Sayyid Ishaq
merupakan saudara sepupu Syekh Nurjati yang menikah dengan Ratu
Blambangan.
[11] Tarekat Jaujiyah didirikan oleh Ibnu Qayim al
Jauziyah(691-751 H) atau Muhammad Abi Bakar bin Ayub Sa’ad bin Harist al Zar’I
Damsyqi Abu Abdullah Syamsuddin, dilahirkan di kota Damaskus.
[12] Mertasinga hal 28
Langganan:
Postingan (Atom)